Pasca PSBB: Polusi Dan Susah Bernapas Lagi?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/salamuddin-daeng-5'>SALAMUDDIN DAENG</a>
OLEH: SALAMUDDIN DAENG
  • Rabu, 10 Juni 2020, 00:15 WIB
Pasca PSBB: Polusi Dan Susah Bernapas Lagi?
Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng/Ist
JALAN-JALAN mulai padat, lagit Jakarta mulai menghitam kembali, setelah minggu lalu pelangi menghiasi langit kota, anak-anak balita tak lagi antre di rumah sakit karena udara yang baik ternyata membuat banyak orang sehat.

Covid telah membuat harga minyak jatuh, harga batubara jatuh, dan pendapatan negara jatuh lebih dalam. Tapi pada bagian lain, Indonesia malah makin adiktif dengan energi buruk, minyak impor ditumpuk, ditampung di kapal-kapal apung, di storage, untuk Pertamina mendapatkan pasar harga minyak yang makin baik di dalam negeri.

Demikian juga batubara terus digali, usaha-usaha batubara dipermudah izinnya, bandar-bandar batubara besar makin menggila, PLN makin dibuat tergantung oleh pembangkit berbahan bakar fosil. Pengusaha batubara nasional melakukan ekspansi menguasai tambang-tambang di luar negeri, untuk memasok batubara ke Pembangkit listrik Indonesia.

Makin lama Indonesia makin dipenuhi oleh produk-produk yang mengandung CO2, karbon yang telah memperkaya segelintir pengusaha minyak, gas, batubara, sawit, orang, yang secara power full saat ini menguasai politik, menjadi penyangga utama kekuasaan politik negara ini.

Namun itu tak lama lagi, dunia tengah bergerak maju. Pemain keuangan global tak lagi bisa leluasa membiayai tambang-tambang batubara dan minyak. Mereka akan berhadapan dengan pajak karbon yang akan naik berkali kali lipat. Perusahaan-perusahan fosil akan menghadapi kesulitan keuangan.

Demikian juga perusahaan perdagangan akan semakin sulit menjual barang-barang mereka. Komitmen dunia untuk mengurangi emisi akan menjadi hambatan perdagangan yang besar dalam bentuk bea masuk dan bahkan pelarangan impor.

Itulah yang akan dihadapi Indonesia dalam waktu tak lama lagi. Apalagi Indonesia telah menandatangani komitmen Paris. Berkomitmen meningkatkan kontribusi energi nonfosil menjadi 23% pada tahun 2015. Rencana yang sudah pasti tidak akan dapat dicapai oleh Indonesia. Bahkan peta jalan ke arah transisi energi Indonesia makin suram. Tidak ada kejelasan.

Para pengambil kebijakan tak tahu masalah yang meteka hadapi. Umumnya sudah nyaman dan bangkotan dengan uang yang berasal dari keruk sumber daya alam miyak, gas, batubara dan energi yang menimbulkan polusi lingkungan sangat besar.

Jurus para pengambil kebijakan masih “ngototisme” sekali minyak tetap minyak, batubara masih sumber uang mereka.

Padahal sebentar lagi akan dipukul rata oleh perubahan tatanan keuangan global. Dan sekarang pun sudah mulai merasakan betapa dunia tak dapat ditipu. Utang-utang, bond atas nama atau jualan lingkungan tak laku.

Mengapa? Walau bangsa Indonesia bisa ditipu elite nasional, namun dunia tahu bahwa Indonesia tidak punya peta jalan menuju transisi energi. Tak punya peta jalan sustainable ekonominya.

Semoga Covid jadi pelajaran ya.... rmol news logo article

Penulis adalah peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA