Langkah Polda Metro Deteksi Ancaman Kerusuhan Tuai Apresiasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Senin, 15 Desember 2025, 16:19 WIB
Langkah Polda Metro Deteksi Ancaman Kerusuhan Tuai Apresiasi
Ilustrasi. (Foto: ANTARA/Ilham Kausar)
rmol news logo Dalam gejolak digital yang semakin ganas, Direktorat Siber (Ditsiber) Polda Metro Jaya kembali membuktikan tajamnya gigi penegak hukum dengan membongkar rencana jahat tiga provokator kerusuhan yang siap meledakkan kekacauan di jantung Jakarta. 

Pemerhati sosial politik Surya Fermana yang vokal soal dinamika keamanan nasional, menilai operasi ini sebagai "masterpiece intelijen siber" yang tidak hanya selamatkan ribuan nyawa, tapi juga tamparan keras bagi kelompok radikal yang memanfaatkan media sosial sebagai senjata murah meriah. 

"Ini bukan sekadar penangkapan, tapi deklarasi perang terhadap anarki digital yang mengancam fondasi demokrasi kita," tegasnya saat dihubungi awak media melalui keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Senin, 15 Desember 2025)

Kasus ini meledak setelah patroli siber intensif Ditsiber mendeteksi jejak provokasi di dunia maya, yang berujung pada penangkapan tiga tersangka berinisial BDM, TSF, dan YM pada 8 Desember 2025. Mereka ditangkap di tiga lokasi berbeda yakni Jakarta Pusat, Bekasi, dan Bandung dengan bukti nyata berupa enam bom molotov yang hampir rampung, siap dilemparkan ke tengah demonstrasi Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia pada 10 Desember 2025. 

Lanjut Fermana, rencana jahat ini dimulai sejak September 2025, ketika duo tersangka bertemu dan membangun jaringan rahasia melalui aplikasi Session, dengan grup bernama "A-JKT"diduga singkatan dari "Anarko-Jakarta" atau terkait slogan radikal "ACAB" (All Cops Are Bastards). 

Di sana, mereka bahas strategi brutal: tutorial pembuatan bom pipa, ancaman kekerasan terhadap aparat, penyerangan kantor polisi, hingga jebakan mematikan untuk petugas di lapangan. 

Ia menyoroti kasus ini mencerminkan penerapan tajam teori Intelligence-Led Policing (ILP), di mana intelijen siber menjadi senjata utama untuk memprediksi dan mencegah kejahatan sebelum meledak. 

“Mengutip pakar seperti David L. Carter dari Michigan State University, intelijen didefinisikan sebagai hasil akhir dari pengumpulan, analisis, dan diseminasi data tentang pelaku kejahatan, persis apa yang dilakukan Ditsiber dengan memanfaatkan Open Source Intelligence (OSINT) untuk menyaring pola provokasi di platform digital,” ungkap Fermana.

Di Indonesia, menurutnya, pendekatan ini selaras dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27-35, yang memberi dasar hukum untuk memburu penghasutan siber. 

"Ditsiber bukan lagi reaktif, tapi prediktif, mereka potong akar masalah sebelum tumbuh jadi pohon racun," kata Fermana, sambil menambahkan bahwa tanpa ILP, hasutan online bisa menyebar seperti virus, menginfeksi ribuan pengguna dalam hitungan detik.  

Sepanjang 2025, Indonesia digempur 3,64 miliar serangan siber menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hampir setara dengan akumulasi lima tahun sebelumnya, dengan kerugian finansial mencapai Rp 476 miliar hingga pertengahan tahun. Polri mencatat 2.597 laporan kejahatan siber dari Januari hingga Agustus, dengan puncak di Mei-Juli yang capai 800 laporan per bulan, tren yang melonjak 30 persen dibanding tahun lalu. 

“Lebih parah, Indonesia dinobatkan sebagai sumber serangan DDoS terbesar dunia oleh Cloudflare, sementara konten negatif di situs dan medsos tembus 8,3 juta dan 2,3 juta kasus. Di tengah badai siber ini, keberhasilan Ditsiber seperti cahaya di kegelapan, mereka cegah kerusuhan yang bisa picu kerugian miliaran dan korban jiwa," ujar Fermana, 

Ia lantas mendesak penelusuran kelompok induk "A-JKT" yang diduga terkait jaringan anarkis lebih luas. Fermana juga mengkritik tajam terhadap eksploitasi isu sosial seperti kemiskinan dan ketidakadilan oleh kelompok radikal. 

"Demo HAM seharusnya suara rakyat, bukan panggung bagi provokator yang sembunyi di balik keyboard. Ini pelajaran: media sosial bukan arena bebas, tapi medan perang yang butuh pengawasan ketat," imbuhnya. 

Ia mendorong pemerintah adopsi standar internasional seperti United Nations Convention Against Transnational Organized Crime untuk kolaborasi global, serta edukasi masyarakat agar laporkan konten provokatif. 

Masih kata Fermana, kasus ini bukan yang pertama; September lalu, 38 tersangka ditetapkan dalam demo ricuh, termasuk koordinator bom molotov dari luar Jakarta.

"Ditsiber telah selamatkan Jakarta dari neraka anarki. Ini momentum untuk reformasi siber nasional, jangan tunggu ledakan berikutnya," tandas dia. rmol news logo article


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA