Berpotensi Pembangkangan Konstitusi

IMM Minta DPR dan Pemerintah Tak Laksanakan Putusan MK soal Pemisahan Pemilu

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Selasa, 05 Agustus 2025, 04:14 WIB
IMM Minta DPR dan Pemerintah Tak Laksanakan Putusan MK soal Pemisahan Pemilu
Kolase Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP IMM, Muhammad Habibi dan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)/RMOL
RMOL. Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR )dan Pemerintah selaku pembentuk Undang-Undang untuk tidak melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXIII/2024 tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah. 

Hal tersebut disampaikan Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP IMM, Muhammad Habibi, pada keterangannya yang diterima redaksi, Senin malam, 4 Agustus 2025. 

Habibi menyampaikan jika permintaan tersebut diajukan kepada pembentuk Undang-Undang berdasarkan hasil eksaminasi putusan yang dituangkan dalam bentuk kajian akademik DPP IMM menyikapi polemik Putusan MK 135 tersebut.

Dalam hasil kajian akademik itu, ia menjelaskan beberapa analisis filosofis, sosiologis serta yuridis terkait MK seberani itu mengeluarkan putusan yang justru inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. 

Menurutnya, Pertama, MK dalam memutuskan perkara 135/PUU-XXIII/2024 itu sebagai Positif Legislator, yang apabila dicermati berdasar pada ketentuan Pasal 24 C Ayat (1] UUD 1945 serta Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU Mahkamah Konstitusi, MK sebagai "Negatif Legislator". 

Apa yang dimaksud Positif Legislator dan Negatif Legislator tersebut, Habibi menjelaskan bahwa "Positif Legislator itu adalah upaya pembentukan suatu norma dalam materi muatan Undang-Undang, baik pembentukan norma baru ataupun perubahan dari norma lama. 

“Kewenangan ini hanya dimiliki oleh lembaga Legislatif dan Eksekutif (DPR dan Pemerintah) berdasar pada hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” jelas Habibi.

Sementara Negatif Legislator, lanjut dia, adalah kewenangan untuk membatalkan suatu norma, apabila terdapat norma dalam suatu Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945.

“MK membatalkannya, jika terdapat norma dalam suatu undang-undang yang bertentangan dengan undang-undnag lainnya atau norma itu diatur dalam peraturan dibawah Undang-Undang bertentangan dengan peraturan diatasnya, maka MA membatalkannya," jelasnya lagi.

Poin MK sebagai Positif Legislator dalam Putusan MK 135 tersebut adalah, MK membuat norma baru bahwa tidak dikenal lagi adanya pengaturan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagaimana diatur dalam UU Pilkada, melainkan MK memutus "Pemilu Daerah" yang meliputi pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. Padahal, dalam ketentuan Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengatur, Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

"Maka, sudah jelas bahwa pemilihan anggota DPRD dilakukan melalui mekanisme "Pemilu" bukan dengan mekanisme "Pilkada". Pemilu dan Pilkada itu menjadi bagian yang terpisahkan, karena Pasal 18 Ayat (4) mengatur jika Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Namun MK secara tidak langsung menabrak kedua Pasal (22 E ayat 2 dan 18 ayat 4) UUD 1945 itu dengan merumuskan norma baru dalam Putusan MK 135 tersebut, dan hal itu melanggar konstitusi (inkonstitusional)," beber dia.

Kedua, dengan diputusnya mekanisme Pemilu Nasional (Pemilihan Presiden, Wapres, DPR dan DPD) dan Pemilu Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota) dalam amar Putusan MK 135, ternyata tidak sejalan dengan pertimbangan hukum dalam poin (3.16) Putusan MK 135 tersebut yang menyatakan, pelaksanaan sistem atau desain pemilu sebelumnya (pemilu lima kotak) tidak bertentangan dengan konstitusi. 

“Pada poin ini, MK tidak menyelaraskan pertimbangan hukum dan amar putusan. Seharusnya, jika MK memutuskan bahwa pemilu harus dilakukan dengan sistem/desain Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, maka logika hukumnya, MK harusnya membatalkan sistem/desain pemilu sebelumnya dan menyatakan hal itu bertentangan dengan konstitusi,” ungkapnya.

Ketiga, walaupun terdapat asas hukum "Res Judicata Pro Veritate Habetur" (putusan hakim harus dianggap benar dan dilaksanakan) bukan berarti Putusan Pengadilan itu tidak memiliki kecacatan hukum. Putusan Pengadilan itu bisa tidak dapat dilaksanakan karena adanya beberapa alasan seperti adanya upaya hukum, objek putusan tidak jelas, putusan bersifat abstrak dan lain-lain. 

Putusan MK itu juga merupakan suatu Putusan Pengadilan, bukan berarti Putusan MK itu tidak memiliki kecacatan hukum sama seperti Putusan Pengadilan lainnya yang pasti tidak keseluruhannya sempurna. Perbedannya hanya pada Putusan MK bersifat final dan terakhir, artinya tidak ada upaya hukum atas Putusan MK, sementara Putusan Pengadilan lain bisa dilakukan upaya hukum.

Keempat, Habibi menegaskan, tidak bisa dianggap sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum atau pembangkangan konstitusi, apabila DPR-RI bersama Pemerintah tidak melaksanakan Putusan MK 135 tersebut. 

Menurut dia, bagaimana mungkin DPR bersama Pemerintah melakukan perubahan berbagai macam Undang-Undang yang didasari Putusan MK yang bersifat inkonstitusional atau cacat hukum. 

“Ambil contoh soal Pilkada, dengan MK membuat norma baru adanya Pemilu Daerah, secara tidak langsung MK itu membatalkan UU Pilkada, padahal permohonan Perludem sebagai Pemohon di putusan MK 135 tersebut untuk uji materiil, bukan uji formil," sambung Habibi.

Terakhir, ia menambahkan jika MK seharusnya menganggap permohonan ini tidak dapat diterima karena permohonan ini lebih bersifat legislatif review bukan judicial review. 

“Perludem sebagai pemohon harusnya mengajukan permohonan perubahan skema sistem/desain pemilu ini ke DPR RI, bukan justru ke MK, tapi aneh bin ajaibnya MK menerima permohonan ini,” tegasnya.

Dalam permohonannya, Perludem mengajukan ini ke MK dengan alasan DPR isinya penuh dengan intrik politik, DPR hanya mendahulukan skema atau sistem/desain pemilu yang menguntungkan partainya dan lain-lain. 

"Secara tidak langsung saya menilai bahwa ini merupakan bentuk penggiringan opini bahwa DPR tidak kompeten dan lain-lain. Apapun kondisinya, suka atau tidak suka, DPR itu sebagai salah satu Positif Legislator, satunya lagi Pemerintah, bukan dikit-dikit uji materi dikit-dikit uji materi, walaupun kita sebagai warga negara punya hak untuk mengajukan judicial review, tapi proses dialog dengan pemangku kepentingan jangan juga dihindari, itu bagian dari proses demokratisasi juga kan, harusnya Perludem lebih paham soal itu," pungkas dia. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA