Namun menurut pakar kepemiluan, Titi Anggraini, upaya merevisi UU Pilkada telah dimulai sejak 2023.
"RUU Pilkada pada saat itu juga disebut untuk mengakomodir sejumlah Putusan MK atas pengujian UU Pilkada," kata Titi lewat keterangan X miliknya, Rabu (21/8).
Teranyar, MK mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat pengusungan pasangan calon di Pilkada Serentak 2024 mengejutkan banyak pihak.
Dalam putusan tersebut membolehkan parpol di provinsi dengan penduduk 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, bisa mengusung calon jika memperoleh suara 7,5 persen.
Tentunya hal itu dianggap akan menambah dinamika dalam pemilihan kepala daerah.
Reaksi cepat pun ditunjukkan DPR dengan menggelar rapat Badan Legislasi (Baleg) dalam merespons putusan 60. Rapat ini membuat publik khawatir karena disebut sebagai upaya untuk menganulir putusan MK dengan merevisi UU 10/2016 tentang Pilkada.
"Kalau sampai berbeda dari Putusan MK, artinya sudah terjadi pembegalan Konstitusi dan itu akan mengakibatkan amburadulnya Pilkada 2024 akibat ketidakpastian hukum dan ketidakpuasan publik yang bisa berujung perlawanan massa," tegas Titi.
Pernyataan Titi ini menjadi pengingat penting bagi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap perubahan regulasi yang berpotensi mengacaukan proses demokrasi di Indonesia.
BERITA TERKAIT: