Penyebabnya karena institusi Polri juga terus dituntut sebagai lembaga penegak hukum yang humanis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.
Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto mengatkan bahwa RUU Polri tersebut diajukan sebagai bentuk respons terhadap tantangan yang dihadapi Polri kedepannya.
“Saya memandangnya karena ada tuntutan, yakni untuk meningkatkan profesionalisme dan efektivitas Polri, terutama di dalam menghadapi kejahatan yang semakin kompleks dan dinamis,” kata Rasminto dalam keterangannya, Kamis (20/6).
Di sisi lain, kata Rasminto, juga ada kebutuhan untuk memastikan bahwa reformasi ini tidak menjadikan Polri sebagai lembaga super power yang dapat mengabaikan atau mengambil alih peran dan fungsi kementerian/lembaga lain.
Keseimbangan ini, menurut Rasminto, sangat krusial guna mencegah potensi penyalahgunaan wewenang, di mana dapat pula mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
“Kritik utama terhadap RUU Polri berkisar pada potensi penumpukan kekuasaan di tangan Polri yang juga dapat menimbulkan konflik kewenangan dengan instansi lain,” kata Rasminto.
Menurut pandangan Rasminto, ada beberapa pasal dalam RUU tersebut justru dikhawatirkan dapat memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada institusi Polri. Termasuk dalam bidang yang secara konstitusi seharusnya malah menjadi kewenangan lembaga lain.
“Situasi ini mengharuskan adanya pengawasan dan pembatasan yang jelas," kata Rasminto.
Karena itulah, lanjut Rasminto, pembahasan RUU Polri harus dilandasi oleh semangat reformasi yang menekankan terhadap pentingnya akuntabilitas, transparansi serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dengan demikian, reformasi Polri melalui pengaturan kelembagaan berdasarkan peraturan perundang-undangan perlu dirancang sedemikian rupa.
“Hal itu supaya dapat mewujudkan sinergi yang efektif antar lembaga, meningkatkan kepercayaan publik serta memperkuat tatanan hukum di Indonesia,” pungkas Rasminto.
BERITA TERKAIT: