Denny JA menebak hasil yang diumumkan KPU nanti, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tetap menang satu putaran di angka sekitar 58 persen.
“Mengapa saya tahu hasil akhir KPU? Pengalaman saya sendiri sudah lima kali ikut intens dalam pilpres, hasil KPU tak akan beda dengan hasil
quick count LSI Denny JA. Selisihnya paling jauh hanya 0,5 sampai 1 persen saja,” ujar Denny JA dalam keterangannya, Rabu (6/3).
“Yang kalah hampir pasti kembali menggugat hasil KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Begitulah tradisi politik Indonesia sejak era reformasi. Tapi di MK, yang mengklaim curang itu gagal membuktikannya,” tambah dia.
Menurut dia, alasannya sederhana. Hasil KPU nanti bahwa Prabowo menang satu putaran hanya bisa dibatalkan oleh keajaiban.
“Mengapa? Hanya jika pihak yang menggugat dapat membawa bukti yang tak terbantahkan sebanyak sekitar 13-20 juta suara coblosan suara ke Prabowo- Gibran yang salah,” ungkap Denny JA.
“Dari mana datang angka 13-18 juta suara itu? Ini matematikanya. Kemenangan Prabowo-Gibran akan diturunkan dari menang satu putaran ke menang saja tapi dua putaran,” jelasnya.
Lanjut dia, kemenangan Prabowo-Gibran harus dibuktikan kurang dari 50 persen. Karena nanti KPU mengumumkan Prabowo-Gibran menang sekitar 58 persen, maka perlu dibuktikan sekitar 9 persen suara Prabowo-Gibran itu salah atau tidak sah.
“Itu artinya dibutuhkan pembuktian sebanyak 9 persen kali 204 juta pemilih dikurangi Golput, itu sama dengan 13-18 juta suara. Dimana mencari pembuktian sebanyak itu. Jauh lebih sulit lagi jika kecurangan yang ada, jikapun ada, memang tak sebanyak itu,” bebernya.
Menurut Denny, isu kecurangan pemilu perlu diletakkan secara proporsional. Pasti ada kecurangan. Dan kecurangan itu dilakukan oleh setiap kubu yang bertarung.
“Untuk kepentingan hidup bernegara, apapun kecurangan itu perlu didokumentasi untuk perbaikan ke depan. Demokrasi selalu memerlukan proses penyempurnaan dan pematangan,” imbuh dia.
“Tapi saya berpandangan, guna mengevaluasi pemilu curang itu secara obyektif dan tidak bias, solusinya bukan hak angket. Solusinya adalah kajian akademis,” imbuhnya lagi.
Masih kata dia, bukan hanya pilpres yang perlu dievaluasi, tapi juga pileg. Evaluatornya jangan politisi, partai politik, atau DPR, yang bias karena kepentingan politiknya, tapi peneliti, akademisi, yang kredibel, yang berada di kampus dan lembaga riset.
“Hasil kajian akademis atas kecurangan yang terjadi dijadikan bahan untuk perbaikan dan penyempurnaan Undang-Undang Pemilu ataupun Undang-Undang Presiden,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: