Hal itu disampaikan langsung Ketua THN Timnas Amin, Ari Yusuf Amir dalam acara konferensi pers "Catatan Timnas Amin Jelang Pencoblosan" di Rumah Koalisi Perubahan, Jalan Brawijaya X nomor 46, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa sore (13/2).
"Saya ingin sampaikan data dan fakta yang telah kami temukan di lapangan. Baik itu yang sudah terjadi proses-proses kecurangan ini, maupun yang sedang terjadi dan yang akan terjadi. Ini semua menjadi perhatian kita semua," kata Ari kepada wartawan.
Yang pertama kata Ari, yang sudah terjadi adalah proses di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap putusan nomor 90 yang berlanjut ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) dengan putusan adanya pelanggaran kode etik.
"Lalu berlanjut lagi ada putusan DKPP, yang tegas juga menyatakan terjadi pelanggaran etik berat di sana, kaitan dalam hal yang sama. Lalu saat ini juga terjadi pelanggaran norma dan asas pemerintahan umum yang baik. Jelas-jelas kita rasakan ketidaknetralan aparatur penyelenggara negara, mulai dari presiden, menteri, pejabat kepala daerah, ASN, kepala desa, hingga aparat penegak hukum (APH)," terang Ari.
Menurut Ari, ketidaknetralan tersebut memiliki kecenderungan pola yang sama, yaitu ingin memenangkan salah satu paslon dengan satu putaran.
"Kita lihat, tentang penggunaan anggaran untuk penyaluran bansos yang disertai dengan ajakan untuk memilih paslon tertentu. Itu massif sekali, pembagian bansos itu sudah massif sekali," tutur Ari.
Kemudian kata Ari, persoalan lainnya adalah, adanya keterlibatan APH untuk memantau petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Ada contoh kecil kemarin, ada aparat penegak hukum secara terang-terangan meminta masuk di grup WA grupnya KPPS dan meminta data nomor handphone para PPK," tutur Ari.
Kemudian kata Ari, adanya keterlibatan kepala desa (kades) untuk memenangkan calon tertentu dengan berbagai modus.
"Kemarin, kawan-kawan juga sudah ketahui, Kementerian Agama mengundang mahasiswa untuk melakukan sosialisasi pemilu. Bayangkan, dalam masa tenang, mengundang mahasiswa untuk bicara tentang sosialisasi pemilu. Ini juga terang-terangan sekali, kasat mata di depan kita. Apa hubungannya Kementerian Agama mengundang mahasiswa-mahasiswa ini, dan kenapa dilakukan di masa-masa tenang seperti ini," jelasnya.
Bukan hanya itu kata Ari, Kementerian BUMN juga hari ini mengundang Gen Z untuk berkumpul di masa tenang. Tujuannya pun dipertanyakan. Bahkan, Bawaslu pun juga dipertanyakan karena tidak ada sikap terhadap hal itu.
"Lalu skenario berikutnya, untuk ke depannya, untuk memenangkan satu putaran ini, dengan modus mengerahkan kepala desa beserta aparaturnya untuk memenangkan paslon tertentu melalui cara, di desa-desa yang minim pengawasan, kepala desa meminta warganya untuk tidak perlu datang ke TPS. Ini fakta-fakta yang kami dapatkan di lapangan," kata Ari.
Bahkan kata Ari, para kades juga memberikan uang agar masyarakat tidak datang ke TPS. Tujuannya, agar kertas suaranya dicoblos oleh para kades dan perangkatnya.
"Kalau ini kejadiannya di Papua, namanya noken, ada aturannya. Tapi ini bukan di Papua. Lalu di kawasan yang pengawasannya relatif baik, kecurangan dilakukan dengan melakukan money politic, yang dilakukan oleh kepala desa sebelum pencoblosan. Membagikan uang secara massif dilakukan oleh kepala-kepala desa ini," jelas Ari.
Lalu kata Ari, potensi kecurangan juga dilakukan oleh KPPS dengan berbagai modus. Misalnya, memobilisasi massa yang tidak punya hak pilih untuk memilih, penggelembungan atau pengurangan suara dan sebagainya.
"Lalu, ini juga sudah modus yang sudah setiap pemilu dilakukan, ini akan dilakukan lagi, yaitu melakukan pertukaran kotak yang berisi hasil pemungutan suara dengan kotak hasil suara manipulasi untuk memenangkan calon tertentu. Jadi kotak-kotak itu di perjalanan akan diganti," terangnya.
Selanjutnya adalah, menyalahgunakan sistem IT KPU. Misalnya dengan mengupload data hasil rekapitulasi suara yang tidak riil. Apalagi terdapat informasi adanya pembobolan DPT dari situs KPU yang menunjukan rentannya sistem IT KPU.
Yang terakhir kata Ari, menggunakan lembaga survei untuk mengumumkan quick count atau exit poll yang tidak valid untuk memenangkan calon tertentu.
Sementara pada saat itu kata Ari, proses penghitungan suara di TPS masih berlangsung. Hal itu bertujuan untuk mempengaruhi psikologis saksi dan masyarakat umum.
"Nah, itulah fakta-fakta kecurangan yang telah, sedang, dan akan terjadi. Untuk itu kami mengimbau, khususnya kepada pelaksana pelaksana kecurangan di lapangan, ini yang di lapangan, kalau yang otaknya nggak bisa kami imbau ya, karena memang sudah tujuannya," jelas Ari.
Untuk itu, Ari berharap para pihak tersebut untuk sadar. Mengingat kata Ari, ketika terjadi masalah hukum, maka akan ditanggung sendiri.
"Baik itu kepala desa, maupun KPPS yang ada di lapangan, masih ada kesempatan kalian untuk tidak melakukan kecurangan. Besok, kami doakan agar terbuka hati kalian untuk tidak melakukan hal-hal ini. Demikianlah, demi untuk menjaga integritas pemilu, dari ancaman kejahatan bersifat terstruktur, sistematis dan massif, dan demi menyelamatkan republik yang sama-sama kita cintai," pungkas Ari.
BERITA TERKAIT: