Hal tersebut sama-sama menjadi pokok persoalan yang disampaikan Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, dan Jampidum Kejagung RI, Fadil Zumhana, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Sentra Gakkumdu di Hotel Gran Mercure, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin malam (19/9).
"Hambatan normatif dalam penegakan pemilu, di mana UU Pemilu dan UU Pilkada masih banyak membuka ruang tafsir dan bersifat ambigu. Termasuk dalam penegakan tindak pidana pemilu dalam Sentra Gakkumdu," terang Bagja.
Sebagai contoh, Bagja menyebutkan salah satu norma di dalam UU 7/2017 tentang Pemilu yang memuat aturan ambigu terkait dengan kampanye di tempat pendidikan, tempat ibadah, dan fasilitas umum.
"Bahasa penyambungnya 'dan', bukan 'dan/atau'. Ini persoalan tersendiri dalam Sentra Gakkumdu. Sehingga lebih bagus kiranya dari mulai Sentra Gakkumdu ini," ucapnya.
"Beberapa bulan ke depan, harus ditemukan formulasi yang tepat untuk membuat tafsiran seragam baik dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota," tambahnya.
Sementara itu, Jampidum Fadil Zumhana menyoroti ketidakjelasan UU Pemilu dalam mengatur penegakan hukum pemilu.
"Berkaitan dengan tindak pidana pemilu, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang selanjutnya disebut UU Pemilu, tidak memberikan definisi atau pengertian apa yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu," paparnya.
Dia mengurai, UU Pemilu hanya mengatur tentang ketentuan pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori tindak pidana pemilu hingga rumusan definisi tindak pidana pemilu.
Justru, Fadil menyatakan bahwa definisi tindak pidana pemilu diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana dan Pemilihan Umum.
"Yang menjelaskan bahwa tindak pidana pemilihan umum adalah tindak pidana pelanggaran dan atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Pemilu," paparnya.
"Dan juga Peraturan Bawaslu Nomor 7 tahun 2018 tentang Penanganan Temuan Pelanggaran Pemilihan Umum," demikian Fadil.
BERITA TERKAIT: