Begitu pandangan pakar hukum administrasi negara, Dian Puji Nugraha Simatupang merespon Hakim Anggota, Mulyono Dwi Purwanto yang menyatakan
dissenting opinion atau berbeda pendapat dalam memutus empat terdakwa kasus Asabri.
Pada persidangan Selasa (4/1), Hakim Mulyono mengatakan perhitungan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi Asabri tidak tepat, tidak terbukti dan tidak mempunyai dasar.
Dikatakan Dian Puji, metode
total lost untuk penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan BPK dalam kasus Asabri memang terlihat aneh dan tidak tepat sebagaimana disoroti hakim Mulyono.
"Apa yang disampaikan Hakim Mulyono itu sangat tepat secara teori dan juga dari sisi konsep pengaturan kerugian negara. Karena memang harus secara nyata dan pasti," ujar Dian kepada wartawan, Sabtu (8/1).
"Menurut saya
dissenting opinion ini seperti oase di dalam suatu padang gurun pemberantasan korupsi yang tidak berkepastian dan tidak punya konsep yang jelas," sambungnya.
Dian menjelaskan,
total lost tidak dikenal lagi sejak ada Pasal 39 PP 38/2016 Tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain.
Dalam Pasal 39 PP itu dikatakan penentuan nilai kekurangan dari penyelesaian kerugian negara/daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar atas barang yang sejenis. Dalam hal baik nilai buku maupun nilai wajar dapat ditentukan, maka nilai barang yang digunakan adalah nilai yang paling tinggi di antara kedua nilai tersebut.
Selain itu, lanjutnya, seharusnya dalam mengidentifikasi ada tidaknya kerugian negara dalam kasus Asabri, BPK juga merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 248/2016 yang mengatur soal pengelolaan jaminan TNI-Polri.
Bahkan, tutur Dian, terdapat aturan yang lebih tinggi yang menegaskan bahwa perhitungan kerugian keuangan negara haruslah berdasarkan kerugian nyata dan pasti, yakni UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi soal frasa “…dapat merugikan keuangan negara" dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang dinyatakan tidak berlaku lagi.
"Jadi tidak ada lagi total
lost, tidak ada
partial lost. Jadi nilai kekurangan atau kerugian betul-betul nilai buku atau nilai nyata. Nilai nyata itu misalnya saya kehilangan Rp 200 ribu di kas, maka Rp 200 ribu itu saja (yang disebut kerugian), jangan kemudian Rp 200 ribu ditambah yang lain atau kalau uang itu digunakan bertambah menjadi Rp 500 ribu, tidak mungkin seperti itu. Jadi betul-betul seharga nilai buku atau berapa yang kemudian secara wajar bahwa uang itu berkurang," jelasnya.
Dia juga menilai perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri oleh BPK tampak aneh karena ketika dijumlah kerugian keuangan negara dari sejumlah terdakwa, nilai totalnya melebihi dari yang didakwakan.
Menurutnya, seharusnya kerugian dihitung dari tindakan yang dilakukan terdakwa yang berakibat pada jumlah kerugian sekian rupiah. Sehingga, yang bersangkutan dituntut pertanggungjawaban sesuai dengan kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari tindakan terdakwa.
“Tidak mungkin kemudian kalau dijumlah berapa, ditotal-total ternyata lebih yang didakwakan, jadi membingungkan. Jadi, jumlahnya saja kelebihan, dari sisi-sisa masing-masing para pihak yang didakwakan tidak jelas juga berapa kemudian dia itu merugikan atau menimbulkan kekurangan uang berapa. Itu tidak sesuai dengan teorinya,†bebernya.
Lebih lanjut, Dian memberikan gambaran soal dua makna penting dari
dissenting opinion dari Hakim Mulyono dalam kasus Asabri. Pertama, kata dia,
dissenting opinion menjadi dasar kuat bagi para pihak untuk mengajukan banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan.
Kedua, apa yang penting sebenarnya ini, baik BPK, penyidik atau siapapun yang bertugas menghitung kerugian negara harus betul-betul mengikuti dan sesuai peraturan perundang-undangan.
"Kalau tidak mengikuti peraturan, buat apa adanya penegakan hukum karena penegakan hukum konsepnya harus berdasarkan hukum. Dasar hukum perhitungan kerugian negara harus nyata dan pasti," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: