Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Papua Tanpa Indonesia Bukanlah Papua, Begitupun Sebaliknya

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Minggu, 29 September 2019, 13:22 WIB
Papua Tanpa Indonesia Bukanlah Papua, Begitupun Sebaliknya
Peta Papua/Net
rmol news logo Papua sebagai bagian dari Indonesia sudah tak terbantahkan. Dalam kelaziman hukum internasional, ada asas itu possidetis juris, yakni negara-negara poskolonial itu mewarisi wilayah yang ditinggalkan oleh negara kolonial.

Begitu dikatakan Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI), Ade Reza Hariyadi dalam diskusi publik bertajuk 'Papua=Indonesia, Indonesia=Papua' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu malam (28/9).

"Konsekuensinya, ketika tahun 1828 Belanda memperlebar wilayah koloninya dan masuk ke Irian pada waktu itu, dan kemudian kita merdeka dari Belanda, maka kita memiliki hak hukum tentang eksistensi Papua sebagai bagian wilayah yang tidak terpisahkan baik secara historis maupun yuridis dari NKRI," jelas Reza.

Ia melanjutkan, ada proses demokratis yang tidak terbantahkan tentang right to self determination atau Pemungutan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk menentukan nasib pada tahun 1969 yang mendeklarasikan Papua atau Irian ini bagian dari NKRI.

Hal itu diperkuat dengan pengukuhan oleh resolusi PBB nomor 2504 yang memberikan pengakuan Irian Jaya atau Irian Barat yang sekarang menjadi Papua dan Papua Barat menjadi bagian dari NKRI.

"Sehingga alasan alasan historis yuridis dan eksistensi faktual geografis ini tidak terbantahkan tentang status Papua sebagai bagian dari NKRI. Sebagian bahkan menarik kesejarahan Papua dengan Kesultanan Ternate dan Tidore, jauh sebelum itu Kerajaan Ternate memiliki pengaruh yang cukup kuat dan eksistensinya bisa dibuktikan dengan penelitian historis di wilayah Irian," lanjutnya.

Dengan demikian, lanjut dia, polemik munculnya aspirasi kemerdekaan dan mempertanyakan konsep tentang Papua bagian dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda terbantahkan.

Di samping itu, klaim segelintir oknum yang mengatakan Pepera pada tahun 1969 tidak demokratis karena hanya melibatkan kepala suku sebenarnya tidak berdasar.

"Sistem itu justru merepresentasikan kekhasan dan karakteristik Papua dimana peran suku-suku justru diakui sejak dulu di dalam proses politik demokratis bergabungnya Papua menjadi bagian dari NKRI," tegas Reza.

Dalam kesempatan yang sama, intelektual muda Papua, Jusman Nortonggo berujar, orang tuanya adalah salah satu tokoh yang ikut berjuang meneteskan darah untuk Papua kembali ke pangkuan NKRI. Oleh karenanya, ia meminta perjuangan orang tua terdahulu tak disia-siakan.

"Kami bicara ini karena orang tua kami meneteskan darah dan air mata untuk mengembalikan Papua ke NKRI," tegasnya.

Menurutnya, tugas negara saat ini adalah mencari solusi agar Papua bisa maju supaya orang-orang Papua benar-benar sejahtera di samping usaha pemerintah saat ini dinilai sudah menuju baik.

"Artinya, apa yang diberikan pemerintah ke Papua bisa dirasakan semuanya. Karena, Papua tanpa Indonesia bukanlah Papua, Indonesia tanpa Papua bukanlah Indonesia," katanya.

Sementara itu, aktivis Papua Basri Nabi mengatakan, Papua tidak hanya memerlukan pembangunan fisik, tapi juga sumber daya manusia (SDM) agar generasi ke depannya bisa membangun Papua dan bangga terhadap NKRI.

"Perhatiannya adalah bagaimana membangun SDM. Karena itu kalau kita bicara soal Papua, kita siapkan adik-adik kita supaya tidak ada pikiran kami bukan bagian dari NKRI," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA