Politisasi tersebut dinilai amat keji karena telah mengingkari jasa-jasa para pahlawan demokrasi yang telah bertugas dengan baik.
"Perdebatan soal penyebab kematian petugas KPPS itu saat ini telah digiring menjadi sebuah gerakan politik yang ditunggangi oleh ambisi dan ketidakpuasan atas hasil pilpres 17 April lalu. Ini tindakan yang buruk sekali dengan melempar isu panas tanpa dasar hanya dengan desas-desus yang tak jelas," kata Ketua Umum RJCI, Raya Desmawanto di Jakarta, Rabu (8/5).
Dia menjelaskan, sah-sah saja ada kelompok yang mempersoalkan kematian petugas KPPS, karena jumlahnya cukup besar. Namun, harus diingat bahwa kasus kematian petugas KPPS tidak saja terjadi dalam Pemilu 2019, namun juga pada Pemilu 2014 lalu.
"KPU menyebut pada 2014 lalu ada sebanyak 144 petugas KPPS yang meninggal dunia. Tapi, saat itu tidak ada penggiringan opini atau dugaan negatif kematian para petugas. Nah, kok sekarang nuansa politisasinya terasa sekali ya," tegasnya.
Raya menegaskan, untuk mengetahui penyebab kematian para petugas KPPS, hanya bisa disampaikan oleh ahli medis yang memiliki pengetahuan ilmu kedokteran mumpuni serta moral etik yang baik, bukan kaum politisi yang sarat kepentingan.
Lagi pula, sejauh ini belum pernah ada jenazah petugas KPPS yang meninggal dunia diotopsi secara lengkap lewat prosedur yang memadai. Sejauh ini, penjelasan secara medis menyebut kalau kematian para petugas KPPS itu akibat kelelahan secara berkepanjangan.
"Sehingga, jika ada pihak-pihak yang menebar desas-desus bahwa ada penyebab lain yang menyebabkan kematian petugas KPPS itu, harus mempertanggungjawabkan dampak penyebarluasan informasi tanda dasar itu. Harusnya, mereka tidak hanya ngomong dan tebar rumor saja, tapi harus berani membuktikannya secara medis, bisa saja lewat otopsi," tegas Raya.
Meski demikian, Raya tak setuju dengan usulan dibentuknya tim pencari fakta (TPF) atas kejadian tersebut. Cukup saja dilakukan proses medis yang wajar, misalnya lewat otopsi, jika memang keluarga petugas KPPS yang meninggal meminta prosedur medis lewat otopsi kepada pihak terkait.
"Tak perlulah bentuk TPF-TPF segala. Kalau memang ingin tahu secara detil, pihak keluarga bisa meminta dilakukan prosedur medis (otopsi). Jadi, jangan menebar rumor yang aneh-aneh. Ini membuat masyarakat jadi gaduh saja," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: