Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rahman Tolleng: Pejuang "Politik Memuliakan"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Kamis, 31 Januari 2019, 15:04 WIB
Rahman Tolleng: Pejuang "Politik Memuliakan"
Rahman Tolleng/Net
USAI saya terpaut hampir sepuluh tahun lebih muda darinya. Konsistensinya pada keteguhan sikap, membuat tokoh itu hidup di dalam lubuk hati saya. Sebagai penulis lepas di harian Suara Karya awal 70-an, kami sering berkomunikasi. Pada tahun itu almarhum sudah sebuah nama besar, pemimpin media perjuangan mahasiswa yang diberi nama Mahasiswa Indonesia (1966-1974).

Dikenal penentang usia muda Nasakomnya Bung Karno. Ketika Soekarno jatuh tahun 1965, umur almarhum masih  28 tahun. Beberapa tahun sebelumnya dia sudah mengambil sikap berhadapan pemimpin tertinggi negeri ini: menolak  Dekrit Presiden 1959.

Sepotong idealisme mau dirawatnya agar negeri ini tumbuh berkembang tanpa ada rekayasa manipulasi Pancasila, apapun alasannya. Tidak mudah memang, tapi itulah konsekwensi konsistensi sebuah komitmen.

Dia dikenal sebagai sosok yang berlatar belakang aktivis, politisi dan jurnalis. Ketangguha  idealisme yang diyakininya tidak mudah luntur ancaman kekuasaan atau dipertukarkan dengan hal duniawi. Iming-iming jabatan dan harta misalnya, nyaris tidak menyilaukannya.

Sampai di ujung usianya dia meyakini: berpolitik adalah salah satu cara memuliakan kehidupan rakyat.
 
Riwayat masa lalunya ditulis di media begini: "Dorongan berpolitiknya datang dari rasa keindonesiaan yang bersemi ketika dia masih duduk di kelas 3 sekolah dasar di Watampone, Sulawesi Selatan di penghujung 1945. Hampir setiap petang, bersama teman sepermainannya, ia mengintip sekelompok anak muda berlatih baris-berbaris di jalan raya. Mereka mengenakan pakaian putih dengan emblem merah-putih tersemat di dada".

Tokoh pergerakan Rahman Tolleng meninggal pada Selasa, 29 Januari 2019 di Rumah Sakit Abdi Waluyo Jakarta. Pria kelahiran Sinjai, 5 Juli 1937.

Kepergian almarhum untuk selama-lamanya menorehkan luka yang dalam pada tubuh idealisme bangsa ini. Sikapnya yang tegas tentang: berpolitik adalah salah satu cara memuliakan kehidupan rakyat, tidak tercapai. Menggantung di langit perpolitikan negeri ini. Seperti diolok-olok paradoks faktual perilaku koruptif yang diperagakan wakil rakyat hasil reformasi.

Berpolitik hari ini telah mengambil bentuk lain, tergelincir menjadi: berpolitik adalah salah satu cara menghina dinakan kehidupan rakyat, dan menghina diri sendiri. Wakil rakyat yang seyogyanya menjadi contoh teladan kebajikan malah bergiliran menjadi "pasien" KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai koruptor alias perampok uang rakyat.

Sikap almarhum yang kukuh dan tangguh dalam "senyap" membuktikan : manusia bisa hidup normal dan terhormat tanpa perlu rakus jabatan dan serakah materi. Tanpa perlu melakukan akrobatik politik, mengakali regulasi untuk merengkuh kekuasaan sebagai pintu legitimasi, lalu dengan dingin meninabobokan rakyat menabur janji kosong kampanye.

Ketika Peristiwa Malari 15 Januari 1974 pecah, - meskipun itu adalah peristiwa politik tingkat dewa sebagai ekses  konflik antar elite, dia dituduh terlibat dalam demonstrasi menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Ditahan selama enam belas bulan. Kemudian dibebaskan tanpa proses pengadilan.

Konsekwensi politik lebih jauh menerpanya, dia direcall sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat wakil Golkar. Diberhentikan sebagai pimpinan Dewan Pimpinan Pusat Golkar, lalu dicopot sebagai pemimpin redaksi harian Suara Karya corong resmi pemerintah Orde Baru.

Namun demikian, perubahan rute politik sekaligus pelucutan jabatan politik yang dialaminya, tidak membuatnya kalah. "Manusia bisa dihancurkan tapi tidak bisa dikalahkan", seperti ditulis sastrawan Amerika Serikat, Ernest Hemingway, dalam novelnya yang berjudul "The Old Man And The Sea". (Lelaki Tua Dan Laut). Sangat mungkin  almarhum pernah membaca novel itu.

Wawancaranya dengan media Jerman, Deutsche Welle menarik disimak: Apa lacur? Generasi demi generasi telah berlalu, tapi harapan itu masih tetap jauh.

Konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik. Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki kaum "Republikein". Tapi kata republik kini seolah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukan kerajaan.

Resminya, bukan kerajaan memang - sungguh tingkah para pemimpin kerap lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, dibandingkan dengan seorang monarki di jaman sekarang. Bangsa ini pun kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya.

Dimanakah tempatnya warisan sikap jiwa dan idealisme almarhum hari-hari ini, ketika politik berlangsung tanpa filosofis yang jelas, tanpa marwah kebangsaan yang tegas. Politik hari ini bagaikan mesin giling besar bergerak di atas tanah kering idealisme, kerontang nilai moralitas. Menjadikan materi sebagai "nabi" baru yang menyesatkan.

Semua kebajikan filosofis telah lunglai layu tak bersinar dikalahkan oleh budaya baru: pameran kemewahan yang  menjauhi rakyat. Jelas ini menghina etika dan moral. Gagasan besar sebagai bangsa besar tereduksi di tangan politisi kagetan yang bermodal kedangkalan nalar.

Tiga hari sebelum Rahman Tolleng meninggal, Sabtu, 26 Januari 2019, petinggi negeri ini disibukkan acara layat melayat konglomerat pendiri Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja yang meninggal dunia. Dia meninggalkan gurita bisnis yang besar, bahkan disebutkan memiliki aset Rp 205 triliun.

Ada dua sosok yang meninggal hampir bersamaan. Tapi dengan pijakan idealisme yang berbeda. Meskipun terjadinya di halaman bangsa dan negara yang sama.

Bangsa ini tengah dilanda hiruk pikuk perubahan nilai ke arah sudut gelap yang mencemaskan. Rahman Tolleng - tokoh anti oligarkis yang kokoh dalam kesendirian itu - kepergiannya sunyi tanpa layatan petinggi negeri.

Padahal diapun meninggalkan warisan gurita idealisme, hanya saja sedang tertimbun longsor demokrasi akibat erupsi politik.

Selamat jalan bung Rahman Tolleng: "Bukan kematian itu benar menyayat kalbu, tapi ketabahanmu menerima segala tiba", ujar penyair Chairil Anwar dalam salah satu sajaknya. [***]

Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA