Namun, pendapat di masyarakat masih terbelah. Ada yang menyebut revisi itu bisa dilaksanakan, ada juga tidak. Yang menolak revisi itu menyatakan bahwa UU Pokok-Pokok Agraria memiliki nilai historis dan sakral.
Menyikapi hal ini, kemarin, Komisi II DPR mengundang tiga ahli untuk memberi pandangan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Mereka adalah Prof Arie Sukanti Hutagalung (Universitas Indonesia), Prof Ida Nurlinda (Universitas Padjadjaran), dan Prof Budi Mulyanto (Institut Pertanian Bogor). Hasilnya, UU Agraria itu bisa direvisi.
Prof Ida Nurlinda menjelaskan, tidak ada UU yang sakral. Sebab, UUD 1945 saja bisa diamandemen. Kenapa UU Pokok-Pokok Agrarias tidak bisa diutak-atik. Hanya saja, yang revisinya tidak semua. Hal-hal yang memiliki nilai historis dan sakral, perlu dipertahankan.
“Kalau boleh saya berpendapat, Pasal 1 sampai dengan Pasal 15 jangan diamandemen. Karena itu adalah prinsip asas. Jadi, kalau ingin diubah maka mulai dari Pasal 16 ke selanjutnya,†terangnya.
Prof Budi Mulyanto menyampaikan bahwa semangat populis UU Agraria mulai direduksi menjadi semangat investasi. Hal ini seiring dengan munculnya UU Penanaman Modal yang dianggap tidak mengkonsideran UU Pokok-Pokok Agraria.
Prof Budi Mulyanto menambahkan, ada paradigma terkait pembuatan Undang-Undang tentang tanah atau sumber daya alam, yakni ada penguasaan kepemilikan, dan penggunaan pemanfaatan. Oleh karenanya, ia menyatakan perlu adanya pemahaman yang lebih komprehensif terkait hal tersebut.
Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron selaku pimpinan rapat, mengatakan bahwa semua masukan yang disampaikan tersebut ditampung. Masukan tersebut melengkapi pembahasan RUU tentang Pertanahan antara Komisi II DPR dengan Pemerintah.
"Mudah-mudahan ini membawa manfaat bagi kita semua," kata politisi Partai Demokrat ini.
[wid]
BERITA TERKAIT: