Desakan itu disampaikan Serikat Kerakyatan Indonesia (Sakti) terkait penerapan program E-KTP yang sampai sekarang masih meninggalkan jejak hitam pembobolan uang negara hingga triliiunan rupiah.
"Kejahatan korupsi model seperti ini selalu berulang dan menambah daftar panjang kasus korupsi bernuansa extra ordinary crime di Indonesia," ujar Ketua Umum organisasi tersebut, Standarkiaa Latief.
Menurut pihaknya, proses penyelidikan dan penyidikan yang sedang berjalan di KPK seolah "tarik ulur" mengikuti irama dinamika politik nasional yang berkembang di ranah eksekutif dan legislatif. Masyarakat luas dan media nasional seperti menjadi bagian dari irama tersebut, untuk dimainkan opininya demi kepentingan-kepentingan para pihak yang terkait kisruh proyek itu.
Sakti meminta KPK bekerja sesuai amanat UU 3/2002 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, bahwa KPK sebagai trigger mechanism, yaitu sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi.
"KPK jangan bersikap abu-abu dan diskriminatif dalam upayanya menangkap elit-elit strategis partai politik yang terindikasi kuat terlibat dengan bukti-bukti hukum yang sah dan meyakinkan, termasuk dugaan kuat keterlibatan pimpinan tertinggi legislatif saat ini (Ketua DPR RI Setya Novanto)," katanya.
Tidak lupa diingatkan agar KPK juga transparan dalam mengungkap kejahatan korupsi, apalagi dalam penanganan kasus E-KTP yang aroma korupsinya sudah terendus sejak 2011.
"Sehingga KPK tidak terjerembab menjadi alat tawar menawar konflik kepentingan kekuatan politik untuk pemilu 2019 nanti," pungkas Standarkiaa.
[ald]
BERITA TERKAIT: