"Dimulai dari keprihatinan kaÂmi terhadap situasi masyarakat, kami turut tergerak," kata ahli arkeologi dan epigrafi Pusat Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti dalam seminar yang bertajuk "Merajut Kebhinekaan," di Balai Kota DKI Jakarta, kemarin.
Perbedaan karena pilihan poliÂtik dalam pilkada lalu, ujarnya, harusnya tidak perlu sampai memecah belah masyarakat. Makanya, penting untuk mengÂkampanyekan tentang kebhineÂkaan kepada masyarakat dan mengingatkan nilai-nilai budaya bangsa.
Titi mengakui, kondisi kebÂhinnekaan saat ini belum sampai pada tahap mengkhawatirkan. Namun, jika kondisi ini dibiÂarkan, bukan tidak mungkin pemahamanan masyarakat tenÂtang keberagaman Indonesia akan hilang.
"Ini mungkin akibat kurangÂnya pengertian mereka terhadap kebhinnekaan yang punya sejaÂrah panjang. Kebhinekaan itu sendiri dimulai dengan datangÂnya manusia yang bermigrasi ke Indonesia. Kemudian, terÂjadi pembaruan secara genetik sebagai bangsa Indonesia ini. Demikian juga budayanya," kata Titi.
Dia berharap, budaya berÂpolitik dengan landasan keberÂagaman harus kembali digalakÂkan. "Sekarang ini mungkin karena dangkalnya Bhinneka Tunggal Ika. Padahal, itu suÂdah ada sejak masa prasejarah puluhan ribu tahun yang lalu. Kita ini terbentuk dari kebhinÂnekaan, tapi mungkin sekarang jarang yang memahami seperti itu," kata Titi.
Akibat kurangnya rasa kebhinnekaan itu, lanjutnya, perbedaan yang semula berdampingan menÂjadi berhadapan. Hal itu mungkin muncul karena minimnya rasa saling menghormati. ***
BERITA TERKAIT: