Namun, klik liberal (bego) di Jakarta silap mengartikan freedom of speech jadi bebas sebebas-bebasnya. Ugal-ugalan.
Cobalah berkata, "
fucking nigga" di Amerika. Anda bakal dijerat UU Anti Rasisme. Jadi,
freedom of speech punya sederet syarat juga. Paling penting, jadilah pendukung
freedom of speech yang jujur. Tidak hipokrit. Cerdas. Tidak muka dua.
Misalnya, ada segelintir sekuler ekstrim mencerca outfit para ulama dan habaib. Mereka gunakan
derogatory terms. Berdaster-lah, kearab-araban-lah. Stigma "bukan Indonesia" dibangun. Fungsinya sebagai pondasi fitnah lanjutan. Lebih keji, kejam, dan sadis. Para ulama itu dituding anti keberagaman.
Padahal, para pem-
bully suka pake
blue jeans (celana penggembala sapi Amerika). Mereka diam, ngga berisik soal kostum biarawan Buddha. Biksu Theravada pake
outfit ala Thailand. Sekte Mahayana jelas gunakan kostum Tiongkok. Non-Indonesia itu. Mana ada baju khas Indonesia berdasi dan jas seperti yang dipake pendeta protestan.
Nyata, ada kemunafikan dalam sikap para pem-
bully itu. Hanya di sini, freedom of speech dijadikan alat kejahatan.
Di Amerika nggak begitu. Freedom of speech sepenuhnya berdasarkan itikad baik. Kesetaraan hak dalam berpendapat.
Di kasus penodaan Surat Al Maidah 51 lebih lucu lagi. Sejumlah netizen non muslim merilis opini sekaligus jadi hakim bagi Umat Islam. Dengan kepercayaan diri penuh. Tiba-tiba, mereka jadi lebih paham soal keislaman dibanding alim ulama yang seumur hidupnya bergumul dengan fiqih dan tauhid.
Ini anomali dari demokrasi dan freedom of speech. Dan hanya terjadi di Indonesia.
Saya kira, Indonesia tidak cocok dijadikan negara liberal versi John Stuart Mill yang bilang, "..
.there ought to exist the fullest liberty of professing and discussing, as a matter of ethical conviction, any doctrine, however immoral it may be considered." (On Liberty, 1859).
Moralitas masih mesti jadi pondasi sebuah nation. Salah satu sumbernya ya agama. Dan Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Sepantasnya, Islam diletakkan di posisi yang paling terhormat.
[***]
Penulis Merupakan Aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak)
BERITA TERKAIT: