Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Partai Baru Tak Bisa Mengajukan Capres, Bukti Ketakutan Parpol Besar

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Sabtu, 17 September 2016, 19:43 WIB
Partai Baru Tak Bisa Mengajukan Capres, Bukti Ketakutan Parpol Besar
rmol news logo Wacana partai baru tak bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang dinilai sebagai akal-akalan partai besar yang ada di DPR. Karena dengan demikian, hanya partai besar yang bisa menentukan pasangan capres-cawapres.

Penilaian tersebut disampaikan Wakil Direktur Direktur Eksekutif Institute for Transformation Studies (Intrans), Endang Tirtana, lewat pesan singkat yang diterima malam ini.

"Hal ini tentu bertentangan dengan keputusan MK yang menyatakan Pileg dan Pilpres 2019 dilakukan secara serentak tanpa harus berdasarkan ambang batas. Yang artinya, secara otomatis partai baru tidak bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden," tegasnya.

Wacana tersebut mencuat terkait draf revisi UU Pemilu diajukan Pemerintah ke DPR. Dalam salah satu pasal disebutkan yang berhak mencalonkan presiden adalah parpol hasil Pemilihan Legislatif 2014. Sesuai UU 42/2008,  parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung pasangan capres-cawapres.

Menurut Endang hal tersebut sebagai strategi partai-partai besar pemenang pemilu 2014 untuk mengunci parpol-parpol papan menengah ke bawah agar tidak memunculkan calon presiden. Partai-partai besar tak ingin setiap parpol mengusulkan orang-orang terbaik yang memiliki kompetensi dan disukai rakyat.

"Karena akan memperkecil kemungkinan calon-calon partai besar bisa memenangkan pilpres," ujar Endang.

Pengajuan usulan tersebut juga untuk mempersempit gerak dan menutup peluang kader-kader terbaik di setiap parpol untuk bertarung di 2019. Padahal setiap parpol memiliki tokoh yang cukup kuat dan layak untuk calon presiden dan wapres, seperti, Wiranto (Hanura), Muhaimin Iskandar (PKB), Zulkifli Hasan (PAN), Romahurmuzy (PPP), dan Muhammad Sohibul Iman (PKS).

Lebih jauh Endang mengingatkan, pada Pemilu 2019, calon presiden setiap parpol akan mempengaruhi hasil pemilihan legislatif dari masing-masing parpol. "Jika setiap parpol mengusung calon yang tepat dan  populis maka secara otomatis akan mempengaruhi hasil suara pileg dan akan menggerus suara partai-partai papan atas dan akan merugikan mereka," katanya.

Karena itu, dia menegakan, jika parpol-parpol papan menengah ke bawah menerima saja draf revisi UU tersebut, artinya mereka telah masuk perangkap partai-partai besar pemenang pemilu 2014 dan kalah sebelum bertempur karena mengakui keunggulan partai besar.

"Padahal setiap parpol masih memiliki peluang yang sama untuk memenangkan pileg 2019," ucapnya.

Apalagi ada kecenderungan pemilih yang didominasi anak-anak muda lebih kurang 50 persen pemilih pada Pemilu 2019 tidak akan memilih partai-partai yang hanya didominasi orang tua dan wajah lama.

"Kita lihat, apakah strategi membunuh musuh sebelum bertempur akan menjadi nyata. Kita tunggu keputusan DPR," demikian Endang.

Berikut perolehan suara dan persentase nasional partai pada Pemilu 2014 lalu.

PDIP 23.681.471 suara (18,95%), Golkar 18.432.312 suara (14,75%), Gerindra 14.760.371 suara (11,81%), Partai Demokrat 12.728.913 suara (10,9%), PKB 11.298.950 suara (9,04%), PAN 9.481.621 suara (7,59%), PKS 8.480.204 suara (6,79%), Nasdem 8.402.812 suara (6,72%), PPP 8.157.488 suara (6,53%), Hanura 6.579.498 suara (5,26%), PBB 1.825.750 suara (1,46%), PKPI 1.143.094 suara (0,91%). [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA