Seperti diketahui, eksekusi mati tahap ketiga di masa pemerintahan Joko Widodo sudah dilakukan di Lapas Nusakambangan, Cilacap Jawa Tengah, pukul 00.45 WIB, Jumat dinihari. Dari 14 nama yang terdaftar, eksekusi mati baru dilakukan terhadap empat orang yaitu Freddy Budiman (WNI), Seck Osmane (WNA/Senegal), Michael Titus Igweh (WNA/Nigeria) dan Humphrey Ejike (WNA/Nigeria).
Menanggapi itu, Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso, menyampaikan bahwa pelaksanaan hukuman mati bertentangan dengan hukum HAM nasional dan internasional. Hal ini sebagaimana sudah dijelaskan secara menyeluruh di dalam Deklarasi Universal HAM, Pancasila, UUD 1945, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi ke dalam UU 12/2005 dan UU 39/1999 tentang HAM.
Bahwa dalam konsepsi HAM, terdapat HAM yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (
non-derogable rights) yang terdiri dari hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
"Dalam hal ini hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun," jelas Sugeng dalam keterangan tertulisnya.
Dia mengatakan, negara memiliki tiga kewajiban terhadap HAM (trias of state obligation). Kewajiban ini memberikan makna bahwa negara harus menghormati, yang berarti mengharuskan negara untuk menghindari tindakan-tindakan atau intervensi negara terhadap HAM (khususnya dalam kebebasan sipil). Kewajiban berikutnya adalah melindungi, yang berarti mengharuskan negara mengambil kewajiban positifnya untuk menghindari pelanggaran HAM. Kemudian memenuhi, yang berarti mengharuskan negara mengambil langkah-langkah efektif (admisnitrasi, yudisial dan non-yudisial) untuk pemenuhan atas HAM.
"Berdasar hal tersebut, YSK mendorong kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, untuk segera melakukan moratorium hukuman mati demi menjamin hak untuk hidup bahwa kejahatan dan pelanggaran apapun tidak bisa dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mengambil hak atas hidup warga negara," lanjut Sugeng.
Dalam catatannya, sejauh ini sudah 140 negara yang mengpuskan hukuman mati dalam hukum dan praktik karena bertentangan dengan HAM.
Ia tegaskan bahwa negara Indonesia, sebagaimana tertulis dalam UUD 1945, adalah negara hukum. Sehingga peran penegak hukum yang profesional menjadi syarat utama dalam meminimalisir kejahatan pidana serius seperti narkoba dan kejahatan lainnya, dan bukan dengan hukuman mati.
"Presiden harus buktikan reformasi mental penegak hukum sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita, sehingga publik bisa mendapatkan keadilan bukan justru mendapatkan dukacita," pungkas Sugeng.
[ald]