Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gerakan Deparpolisasi di Kabinet Jokowi Terstruktur, Massif, dan Sistematis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Minggu, 10 Agustus 2014, 15:43 WIB
Gerakan Deparpolisasi di Kabinet Jokowi Terstruktur, Massif, dan Sistematis
rmol news logo Wacana pengurus parpol tidak boleh masuk kabinet dinilai sengaja digelindingkan oleh orang-orang nonparpol yang mengitari Presiden terpilih Joko Widodo. Bahkan patut dicurigai wacana tersebut dihembuskan secara terstruktur, massif, dan  sistematis (TSM) agar orang-orang nonparpol itu bisa merebut jabatan di kabinet meski tanpa keringat.

"(Mereka) seperti penumpang gelap atau penumpang angkot," kata pengamat politik dari Universitas Islam Negeri, Jakarta, Zakki Mubarok (Minggu, 10/8).

Lebih jauh dia mengatakan, upaya deparpolisasi di kabinet Jokowi Widodo dan Jusuf Kalla sangat berbahaya di alam demokrasi. Karena itu, Jokowi-JK harus mewaspadai orang-orang nonparpol yang syahwat politiknya tinggi dengan sengaja melakukan agenda deparpolisasi kabinet.

"Patut dicurigai penumpang gelap itu syahwat politiknya luar biasa dan tidak terbendung untuk merebut kekuasaan di kabinet dan badan-badan strategis pemerintahan," tegasnya.

Dia heran, parpol tumbuh dengan baik, namun diberangus oleh orang-orang yang mengatasnamakan profesionalisme. "Jokowi diprovokasi terus menerus, padahal mereka tidak punya kapasitas politik apapun, apalagi profesionalistas mereka juga dipertanyakan," ungkapnya.

Kalau Jokowi menyingkirkan pengurus partai, itu justru akan melemahkan pemerintahan. Pasalnya, meski Indonesia menganut sistem presidensiil, namun praktiknya semi parlementer.

Bahkan, orang-orang nonparpol itu akan menjadi beban tersendiri bagi presiden terpilih ketika ada kebuntuan politik di parlemen. "Perlu diingat bahwa parlemen menentukan jabatan-jabtan strategis, termasuk jabatan yudikatif dan eksekutif. Misalnya pemilihan hakim agung, BPK, KY, KPU, Bawslu, LPSK, Komnas HAM, KPI, dan lain-lain," ujarnya.

Justru orang nonparpol, misalnya dosen yang dijadikan anggaota kabinet akan kesulitan untuk melakukan komunikasi politik dengan parlemen. Dan bisa jadi program-programnya dihambat oleh parlemen.

"Ini bisa menimbulkan kekisruhan politik di parlemen. Di samping itu orang-orang nonparpol akan menjadi benalu bagi presiden terpilih karena tidak punya kekuatan politik apapun, dibanding orang parpol yang pernah duduk di parlemen lebih menguasai politik parlemen," katanya.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA