Entah apa pertimbangan rektor di saat-saat terakhir tiba-tiba saja melarang. Alasan yang dikemukakan, katanya, kampus tidak boleh untuk kegiatan politik. Namun banyak kalangan menduga, rektor ditekan Mendikbud, M. Nuh, agar membatalkan acara tersebut hanya dua hari sebelum penyelenggaraan.
Kalau dalam masalah ini nama M Nuh muncul, maka hampir pasti bisa dipastikan, pasti ada kaitannya dengan sang presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bisa jadi menteri ini dapat instruksi dari SBY. Maklum, Partai Demokrat (PD) besutannya makin terjungkal saja di mata publik. Sementara Konvensi Presiden yang digelar PD kian hari kian kehilangan gaung (kalau tidak mau disebut kehilangan kredibilitasnya).
Kemungkinan kedua, M Nuh sedang carmuk alias cari muka ke majikannya. Tapi kalau alasan kedua ini yang terjadi, alangkah kasihannya Nuh. Masak sih, dia tidak paham, bahwa sang majikan akan segera turun tahta? Lalu buat apa pula dia carmuk?
Pada konteks ini, jauh lebih cerdas yang dilakukan Isran Noor. Bupati Kutai Timur ini berani nyapres lewat Konvensi Rakyat Capres 2014 yang dikomandani Sholahudin Wahid. Padahal, Isran adalah Ketua DPD Partai Demokrat Kaltim. Jangan-jangan Isran merasa PD adalah kapal induk yang sebentar lagi segera tenggelam? Hemm…
Tapi, biarlah rektor Unair dan Nuh dengan berbagai kemungkinan motivasi unjuk kekuasaannya. Emang gue pikirin alias EGP kata anak-anak alai sekarang. Jauh lebih bermanfaat kalau kita bicarakan konvensi rakyat itu sendiri.
Faktanya di lapangan, larangan itu ternyata justru jadi promosi gratis buat Konvensi Rakyat. Berhari-hari media massa, khususnya media online memberitakan arogansi penguasa itu. Ditambah dengan apatisme rakyat yang kian membuncah terhadap Parpol, juga penguasa, tak pelak lagi perhelatan itu justru mampu jadi magnet dahsyat yang menyedot kehadiran rakyat.
Aula Balai Adika Hotel Majapahit, Surabaya, tempat hajatan digelar, dijejali pendukung masing-masing kandidat. Mereka adalah warga Surabaya dan kota-kota sekitarnya di Jawa Timur. 250 kursi yang disediakan panitia sama sekali tidak cukup. Isran Noor saja, menurut keterangan panitia, sedianya akan mengerahkan 1.300 pendukung. Namun setelah kompromi, jumlahnya disusutkan tinggal sekitar 1.000 orang. Sedangkan Yusril Ihza Mahendra yang juga Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), memboyong tidak kurang dari 700 pendukung.
Padahal, asal tahu saja, pada rapat malam sebelumnya Panitia dan tim sukses para kandidat sudah sepakat, bahwa masing-masing kandidat hanya disediakan 30 kursi untuk pendukung. Tapi kesepakatan tinggal kesepakatan. Praktiknya di lapangan ternyata sama sekali berbeda. Akibatnya, mereka yang datang untuk mendengar visi misi tujuh kandidat konvensi itu terpaksa banyak berdiri atau duduk lesehan di lantai tanpa alas apa pun.
Sebagian lain harus puas berdiri berdesakan. Bahkan massa meluber hingga lobi dan halaman hotel. Maka bisa dibayangkan, betapa ‘serunya’ suasana debat capres tersebut. Untungnya lima kandidat lain (Rizal Ramli, Sofjan Sjauri Siregar, dan Tony Ardie) tampaknya setia dengan kesepakatan. Bahkan Anni Iwasaki dan Ricky Sutanto, masing-masing pendukungnya tidak sampai 10 orang saja.
Semangat perjuanganTentang pemilihan Hotel Majapahit sebagai pengganti tempat perhelatan, ternyata Panitia punya pertimbangan sendiri. Bicara Majapahit, berarti bicara soal Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan Sumpah Palapa. Lewat ketiganya Indonesia pernah membentang di seluruh Nusantara. Bahkan wilayah kekuasaanya jauh melintasi sejumlah daratan yang kini adalah negara-negara tetangga.
Begitu juga dengan hotel Majapahit. Hotel ini memiliki akar sejarah yang kuat, terutama semangat perjuangan merebut kemerdekaan. Pada 10 November 1946, arek-arek Suroboyo mendatangi hotel ini karena mengibarkan bendera Belanda warna biru merah dan putih di tiang puncak hotel. Bendera diturunkan lalu dirobek warna birunya dan dikibarkan kembali sebagai bendera merah putih.
Debat menghadirkan tiga panelis. Guru Besar Politik Unair yang juga mantan Komisioner KPU Prof. DR ramlan Surbakti, Guru Besar Politik Universitas Parahyangan Bandung Prof. Asep Warlan Yusuf, dan pengajar ekonomi Unair, Dr. Tjuk Kastriadi.
Sedangkan para kandidat capres adalah Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, tokoh perempuan Anni Iwasaki yang tinggal di Jepang, Bupati Kutai Timur Isran Noor, dan pengusaha Ricky Sutanto. Dua kandidat lain adalah, Rektor Universitas Islam Eropa Sofjan Siregar yang tinggal di Eropa dan aktivis senior Tony Ardie. Seperti disebut di awal tadi, juga ada Ketua Dewan Syuro PBB Yusril Ihza Mahendra.
Antusiasme rakyat bukan sekadar ikut hura-hura belaka. Anda bisa membayangkan, sebuah acara serius yang memaparkan visi, misi, program seperti itu mampu menyihir sekaligus memikat hadirin yang berjejal di ruangan yang tidak seberapa luas selama lima jam penuh. Ya, lima jam penuh! Dan selama lima jam itu, tidak terlihat hadirin yang meninggalkan ruangan, kecuali untuk keperluan ‘darurat’, ke kamar mandi, misalnya.
Sekretaris Komite Konvensi Rakyat Rommy Fibri menyatakan, Konvensi Rakyat adalah perhelatan rakyat. Kalau Rakyat sudah punya kehendak, dilarang atau tidak acara tetap diselenggarakan. Bahkan semakin dilarang akan semakin besar. Rakyat semakin marah kepada penguasa.
“Konvensi Rakyat digelar dengan harapan menjadi pembuka atas kebekuan dan kejumudan politik yang ada di masyarakat saat ini. Banyaknya politisi yang tertangkap kasus korupsi dan dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, membuat rakyat berharap adanya perubahan. Konvensi rakyat ingin memunculkan pemimpin yang benar-benar dibutuhkan rakyat," ungkap Rommy.
Tidak percaya ParpolRommy benar. Rakyat memang sudah tidak percaya lagi terhadap penguasa dan Parpol. Paling tidak, inilah temuan Lembaga Survei Cirus Surveyors Group ketika mengukur seberapa besar tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Hasilnya, hanya tersisa 9,4% responden yang masih percaya. Kemana yang lain? Sebanyak 39,2% kurang percaya, 40% tidak percaya, dan 11,4% tidak tahu. Jadi, kalau dijumlahkan, total 79,2% rakyat Indonesia tidak percaya kepada Parpol!
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan prediksi Rizal Ramli. Dalam sejumlah kesempatan, Menteri Keuangan era Gus Dur ini menyatakan sekitar 50% rakyat tidak percaya lagi kepada Parpol. Alasannya, Parpol dan pemerintah tidak kunjung bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Indikator paling gampangnya adalah terus melambungnya harga berbagai kebutuhan dan makin maraknya korupsi. Mereka justru sibuk memupuk kekayaan dan melanggengkan kekuasaan bagi diri dan kelompoknya saja. Sisanya yang 50% lagi itulah yang diperebutkan 14 Parpol peserta Pemilu.
Itulah sebabnya Ketua Umum Kadin Indonesia itu tetap percaya diri maju sebagai capres. Kendati, tak bisa dihindari, berkali-kali dia dihadapkan dengan pertanyaan, “partainya apa?†Maklum, semua orang tahu, RR1 memang tidak bernaung di bawah parpol tertentu. Padahal UU Pemilu masih menyebutkan hanya Parpol dengan kualifikasi tertentu yang boleh mengajukan Capres. Singkat kata, sistem politik yang ada masih menutup peluang lahirnya Capres Independen. Dengan begitu, peluang Rizal Ramli sebagai Capres sepertinya tertutup rapat-rapat.
Bernarkah demikian? Tidak juga! “Tolong sampaikan kepada para pengamat dan kalangan kelas menengah lain, supaya mereka tidak lupa. Dalam Pemilu rakyat memilih orang, bukan partai, sebagai presiden. Itulah sebabnya banyak capres yang sibuk memoles citra supaya popularitas dan elektibilitasnya terdongkrak. Kalau orang sudah punya 20-30%, maka dengan sendirinya parpol akan berebut meminta agar mau diusung sebagai capres. Begitu juga tokoh-tokoh ‘salon’ lain, akan mengemis supaya bisa jadi cawapresnya,†kilah lelaki yang konsisten menyuarakan ekonomi konstitusi sejak mahasiswa.
Pada titik ini, Rizal Ramli melihat Konvensi Rakyat bisa menjadi media alternatif yang mampu memenuhi harapan rakyat. Baginya, tidak ada pilihan lain, rakyat harus sejahtera. Allah menganugrahi Indonesia dengan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah ruah. Tidak masuk akal bila sebagian besar rakyatnya masih juga miskin dan tidak sejahtera.
“Setelah 68 tahun merdeka, ternyata 80% rakyat Indonesia belum juga sejahtera. Ini karena para pejabat kita meninggalkan cita-cita para pendiri bangsa. Saya sudah pelajari ajaran Bung Karno. Saya juga sudah pelajari pikiran-pikiran Gus Dur. Intinya, kalau mau maju dan hebat, Indonesia harus mandiri dan berdaulat. Inilah alasan saya maju sebagai calon presiden melalui Konvensi Rakyat. Saya mau melaksanakan pikiran dan ajaran mereka,†ujar penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang akrab disapa RR1 ini.
Seperti kata Gus Sholah dalam sambutannya, dari Konvensi Rakyat ini mudah-mudahan akan melahirkan presiden yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Rakyat bergerak dari Airlangga ke Majapahit dan Pertempuran 10 November. (*)
Penulis adalah Direktur Program Centre for Economy & Democracy Studies (CEDeS)
BERITA TERKAIT: