"Untuk segi desain dan estetika, talenta Indonesia lebih baik. Keunikan ini dapat digunakan untuk menarik minat investor dan arsitek luar negeri untuk berkolaborasi," kata President Commissioner Urbahn International, Rafi Haikal dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/4).
Lebih jauh, Haikal membandingkan konsep arsitek Indonesia dan Amerika Serikat. Di New York misalnya, arsitek dilihat seperti pegawai kesehatan.
Artinya, mereka tidak hanya harus memiliki ijazah, melainkan juga harus memiliki pengalaman kerja kurang lebih 3 ribu jam atau sekitar tiga tahun.
"Setelah tiga tahun bekerja, harus mengikuti sekitar 6-7 ujian baru mendapat sertifikat untuk praktik dan sertifikat. Itu prosesnya hampir sama seperti dokter. Kita harus mengaplikasikannya untuk kesehatan dan kenyamanan masyarakat New York," lanjut Haikal.
Sementara jika di Indonesia, bisnis arsitektur di Indonesia tidak cukup hanya dengan sertifikasi, melainkan perlu memiliki beberapa perusahaan pelaksana proyek.
"Jadi, kalau di New York kita cukup punya satu perusahaan, sedangkan di Indonesia harus mempunyai lebih dari satu perusahaan untuk menerapkan hal tersebut," ujar putra Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan ini.
Concern terhadap talenta arsitek muda Indonesia juga sempat disampaikan Haikal dalam Program Real Estate Class Center for Strategic Entrepreneurial Leadership Universitas Indonesia (CSELUI) Real Estate Class di Kampus UI Salemba, Jakarta beberapa waktu lalu.
Kelas Real Estate ini menghadirkan President Director Urbahn International Jakarta, Jens H Muller sebagai narasumber. Keduanya memperkenalkan dan menyampaikan paparan mengenai Building Life Cycle.
Haikal bersama Urbahn Internasional juga sebelumnya telah memfasilitasi kegiatan forum bisnis dan investasi antara Otoritas Ibu Kota Nusantara dengan pelaku usaha Amerika Serikat pada November 2023 lalu.
BERITA TERKAIT: