Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dirut Baznas Beberkan Beda Payung Hukum Lembaga Filantropi seperti ACT dengan Penyalur Zakat dan Wakaf

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Sabtu, 09 Juli 2022, 20:54 WIB
Dirut Baznas Beberkan Beda Payung Hukum Lembaga Filantropi seperti ACT dengan Penyalur Zakat dan Wakaf
Direktur Utama Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Arifin Purwakanata, dalam diskusi vortual Forum Soliditas Kemanusian bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi", Sabtu siang (9/7)/Repro
rmol news logo Payung hukum yang melegalkan kegiatan lembaga filantropi ternyata berbeda dengan lembaga penyalur zakat dan wakaf.

Hal itu diungkap Direktur Utama Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Arifin Purwakanata, dalam diskusi virtual Forum Soliditas Kemanusian bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi", Sabtu siang (9/7).

"Jadi kalau bicara regulasi, ada dua rezim filantropi. Pertama UU tentang Pekumpulan Uang atau Barang tahun 1961, serta turunan aturan di sana," ujar Arifin.

Dia menjelaskan, dalam UU tersebut diatur seluruh kegiatan yang meliputi yayasan atau panti-panti sosial yang melakukan penggalangan dana untuk memberikan bantuan.

"Khusus (untuk) filantropi agama, Indonesia juga mengatur. Sudah ada UU Zakat dan juga UU Wakaf," sambungnya menjelaskan.

Lebih dalam lagi, Arifin memaparkan bahwa perbedaan dua rezim UU untuk kegiatan filantropi itu terletak pada seberapa rinci pengaturan tata kelola sumber daya bantuan, baik berupa uang atau barang dari masyarakat, oleh lembaga-lembaga yang berdiri.

"Memang berbeda. Kalau UU Pengumpulan Uang atau Barang memang mengatur filantropi secara umum. Jadi kalau kemarin kita mendengar sebuah lembaga dicabut izin pengumpulan uang dan barangnya, ya karena melanggar UU tersebut (UU 9/1961)," tuturnya.

Namun sayangnya, Arifin melihat pengaturan di UU Pengumpulan Uang atau Barang memang seharusnya diperbaiki. Karena belum mengatur lebih rinci, misalnya soal berapa persentase sumbangan yang dikelola bisa dipakai untuk operasional kelembagaan.

"Dan UU itu memang punya sanksi, meski sanksinya kecil. Jadi kalau ada orang salah dihukum 3 bulan dan denda 10 ribu rupiah. Kami melihat dan memberikan masukan kepada pegiat filantropi, saya kira UU-nya sangat loss, berbeda dengan perundangan zakat," tuturnya.

Dalam UU Zakat, lanjut Arifin menjelaskan, beberapa hal teknis yang seharusnya juga terdapat di UU Pengumpulan Uang dan Barang.

"Misalnya mengenai biaya operasional di lemabga zakat tidak boleh lebih dari 12,5 persen. Dan ada surat Kemenag yang mengatur infak tidak boleh lebih dari 20 persen. Dan ini diaudt oleh Itjen Kemenag," katanya.

Dari perbedaan tersebut, Arifin ikut mendorong adanya revisi UU Pengumpulan Uang atau Barang agar potensi moral hazard bisa diminimalisir.

"Sekarang kita bantu teman-teman yang berlindung di bawah UU Pengumpulan Uang dan Barang. Bahkan saya sudah mendorong agar itu diamandemen (direvisi) mulai tahun 2000-an," demikian Arifin. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA