Berbagai platform medsos seperti Facebook, TikTok, hingga WhatsApp dipenuhi informasi ujaran kebencian yang bertujuan mempengaruhi opini masyarakat untuk kandidat tertentu.
Isu yang sering digunakan mencakup fitnah, penyebaran berita palsu mengenai kandidat, serta narasi negatif yang mengandung unsur SARA. Semua digunakan untuk menyerang lawan politik dan mempengaruhi opini masyarakat secara negatif.
Menurut Wakil Rektor Universitas Kotabumi (Umko) Lampung Utara, Dr Slamet Haryadi, terkait berita hoax dalam pilkada saat ini sebenarnya hal itu sudah diatur dalam UU Pilkada, PKPU. Sudah dilarang tapi kerap dilakukan oleh tim pemenangan pendukung kandidat.
”Berita hoax sudah menjadi sesuatu tren, sengaja dibentuk tujuan untuk menjatuhkan dukungan salah satu kandidat, bisa dikategorikan kampanye hitam dilakukan orang tidak yang bertanggung jawab,” tuturnya, dikutip
RMOLLampung, Sabtu (5/10).
Lebih lanjut Slamet Har sapaan akrabnya, mengatakan bahwa berita hoax selalu mengalami peningkatan.
”Menjelang Pilkada, berita hoax yang diproduksi oleh akun-akun bodong, buzzer pendukung paslon banyak beredar, sudah diprediksikan meningkat. Ujaran kebencian serta hujatan sampai sebagai bentuk
black campaign masuk ke ranah pribadi yang sangat tabu, bahkan rentan menimbulkan gesekan,” ungkapnya.
Untuk mengatasi hal ini literasi digital harus digalakkan. Begitu pula dengan pihak berwenang Bawaslu serta pihak aparat hukum (Polisi) agar menggalakkan patroli media sosial.
"Cek fakta apakah informasi itu baik untuk masyarakat, apakah informasi itu berguna dan apakah informasi itu benar, di sini peran Bawaslu dan aparat kepolisian untuk patroli media sosial serta terapkan aturan hukumnya," harapnya.
Dengan berbagai langkah ini diharapkan penyebaran hoax dan ujaran kebencian menjelang Pilkada bisa diminimalkan, demi menjaga kondusifitas dan keamanan proses demokrasi. Selain itu masyarakat juga dihimbau untuk tidak mudah percaya suatu informasi sebelum memeriksa kebenarannya.
BERITA TERKAIT: