Khususnya terhadap pasal tertentu, seperti pasal tentang upah, pesangon, tenaga kerja asing (TKA), jam kerja, outsourcing, jaminan sosial, dan lain sebagainya.
"Isi omnibus law tersebut sangat merugikan buruh. Antara lain pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA buruh kasar, penggunaan outsourcing yang masif, jam kerja yang flexibel, termasuk upah bulanan dirubah menjadi upah per jam," kata Presiden KSPI, Said Iqbal, Jumat (27/12).
Terkait wacana perubahan sistem upah menjadi upah per jam, KSPI menolak keras. Alasanya, prinsip upah minimum adalah safety net atau jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin. Hal itulah, kata Iqbal, yang terkandung dalam konvensi ILO dan UU 13/2003.
Jika sistem upah per jam, boleh jadi buruh menerima upah dalam sebulan di bawah nilai upah minimum akibat pengusaha membayar upah sesuai dengan jumlah jam dimana buruh bekerja.
"Jika ini diterapkan, pengusaha bisa seenaknya secara sepihak menentukan jumlah jam bekerja buruh," kata Iqbal.
Lebih lanjut dia menegaskan, kalau bekerja dibayar sesuai jumlah jam bisa saja buruh tidak diberikan jam kerja. Akibatnya total pendapatan yang didapat dalam sebulan upahnya dibawah upah minimum.
Dengan begitu, tandas Iqbal, tidak ada perlindungan jaring pengaman untuk buruh bisa hidup minimum.
"Kalau begitu, buat apa ada investasi bila menyengsarakan buruh. Peran negara untuk melindungi rakyat kecil yang hanya mengandalkan upah minimum dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya menjadi hilang," tegasnya.
BERITA TERKAIT: