Angka itu digembar-gemborkan sebagai bukti negara hadir melindungi kesehatan warganya. Namun di ruang IGD, kartu peserta bukan jaminan pertolongan.
Hak kesehatan diuji bukan melalui presentasi angka, tetapi oleh ketersediaan dokter, obat, ruang rawat, dan keputusan klinis yang tidak boleh menolak pasien.
Dari jumlah peserta tersebut, yang benar-benar berstatus aktif hanya sekitar 225,3 juta jiwa. Artinya, sekitar seperlima penduduk berada dalam status “terdaftar tetapi tidak terlindungi”.
Banyak warga baru menyadari mereka tidak aktif ketika terbaring dan butuh tindakan medis. Negara sibuk mendata, tetapi gagal memastikan bahwa setiap kartu yang dicetak berarti akses yang nyata.
Potret pelayanan kesehatan semakin menegaskan paradoks itu. Indonesia hanya memiliki sekitar 216.132 dokter dengan rasio 0,76 per 1.000 penduduk.
Angka ini masih di bawah target nasional 0,8, dan timpang secara geografis: DKI Jakarta memiliki 2,53 dokter per 1.000 penduduk, sementara Papua Barat hanya 0,02. Tempat tinggal masih menjadi penentu peluang hidup.
Jika lahir di ibu kota, peluang sembuh lebih besar dibanding mereka yang hidup di ujung Nusantara.
Di fasilitas layanan, persoalan klasik masih menghantui: antrean poli yang mengular, radiologi tanpa petugas jaga, dan puskesmas yang kehabisan obat esensial.
Tingginya beban layanan JKN -- sekitar 673,9 juta kunjungan pada 2024 -- memperlihatkan kebutuhan besar di lapangan. Tetapi sistem pelayanan kesehatan primer jelas belum siap menjadi pintu depan yang menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat tanpa rujukan berlapis.
Sisi pembiayaan menambah daftar kegelisahan. BPJS Kesehatan masih mencatat defisit dalam beberapa tahun terakhir karena beban klaim lebih besar dari iuran.
Di ruang publik, keluarga miskin masih harus membayar biaya non-medis, transportasi, dan obat yang tidak ditanggung. Sakit, bagi jutaan rakyat, masih berarti pilihan sulit antara sembuh atau kehilangan penghasilan.
Kasus-kasus yang terjadi sepanjang tahun adalah alarm yang seharusnya mengguncang nurani negara.
Di Batam, seorang anak peserta BPJS dibawa pulang karena keluarga tak sanggup menanggung biaya tambahan -- ia meninggal beberapa jam kemudian.
Di Jayapura, pasien gawat darurat diduga ditolak beberapa rumah sakit sebelum kehilangan nyawanya.
Ombudsman menegaskan praktik penolakan pasien sebagai bentuk maladministrasi. Namun bagi keluarga korban, istilah itu terlalu dingin untuk menggambarkan kehilangan.
Jika
outcome kesehatan adalah indikator final, bangsa ini belum layak merayakan keberhasilan.
Stunting memang menurun, tetapi tetap meninggalkan jutaan balita tumbuh dalam kekurangan.
Angka kematian ibu tidak menggambarkan rasa aman. Kartu jaminan kesehatan belum otomatis menjamin seorang ibu pulang selamat dari ruang bersalin.
Refleksi akhir tahun seharusnya bukan perayaan presentase, tetapi keberanian menatap kekurangan.
Indonesia berhasil mendata penduduk sebagai peserta jaminan. Tetapi belum berhasil memastikan pelayanan yang merata, manusiawi, dan cepat.
Universal Health Coverage tidak boleh berhenti sebagai proyek statistik di kantor-kantor kementerian. Ia harus menjadi proyek rasa aman yang dirasakan sampai pelosok desa dan ruang IGD.
Tahun 2026, pertanyaan negara harus bergeser: bukan lagi “berapa banyak peserta JKN?”, tetapi “berapa banyak nyawa yang berhasil diselamatkan?”.
Bukan lagi “berapa besar anggaran?”, tetapi “berapa kecil ketakutan rakyat ketika jatuh sakit?”.
Selama seorang warga masih menggigil sebelum masuk rumah sakit karena takut ditolak atau takut tidak mampu membayar ongkos pulang, republik ini belum hadir sepenuhnya.
Bangsa ini belum sehat selama rakyatnya masih takut untuk sakit.
Ketua Umum Rekan Indonesia
BERITA TERKAIT: