Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Nota Keberatan Tom Lembong Ungkap Banyak Kejanggalan Dakwaan JPU

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Kamis, 06 Maret 2025, 15:29 WIB
Nota Keberatan Tom Lembong Ungkap Banyak Kejanggalan Dakwaan JPU
Sidang perdana Tom Lembong kasus dugaan korupsi terkait importasi gula/Istimewa
rmol news logo Kuasa hukum Thomas Trikasih Lembong (TTL) alias Tom Lembong menyebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah error in persona dalam menetapkan kliennya sebagai terdakwa dalam perkara importasi gula.
Selamat Berpuasa

Hal itu disampaikan kuasa hukum Tom Lembong saat membacakan nota keberatan atau eksepsi setelah mendengarkan pembacaan surat dakwaan dari JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 6 Maret 2025.

"Terdapat beberapa fakta yuridis yang menjadi poin penting betapa TTL tidak memiliki kesalahan apapun untuk disangkakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu sekaligus menunjukkan betapa kasus ini adalah bentuk kriminalisasi dan tindakan abuse of power JPU terhadap TTL," kata Jurubicara tim kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, Kamis, 6 Maret 2025.

Dalam eksepsinya, kuasa hukum Tom Lembong menyampaikan beberapa fakta yuridis kejanggalan dakwaan JPU.

Pertama, kuasa hukum Tom Lembong menilai bahwa Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo. Sebab yang didakwakan merupakan perkara pangan yang diatur secara khusus dalam UU 18/2012 tentang Pangan dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

"Sementara kewenangan Pengadilan Tipikor dibatasi berdasarkan Pasal 6 huruf c UU 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor Juncto Pasal 14 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001," kata kuasa hukum Tom Lembong dalam eksepsinya.

Faktanya, pelanggaran ketentuan hukum positif yang dituduhkan JPU dalam dakwaan tidak memasukkan atau mencantumkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU Tipikor. Artinya, dasar hukum yang dijadikan rujukan surat dakwaan JPU mutlak tidak dapat dikualifikasikan sebagai Tipikor.

"Oleh sebab itu, dakwaan JPU yang menyatakan perbuatan terdakwa sebagai tindak pidana korupsi dan sebagai perbuatan melawan hukum adalah tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU Tipikor Juncto Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tipikor," tutur kuasa hukum Tom Lembong.

Selanjutnya, menurut kuasa hukum Tom Lembong, unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak terdapat cukup bukti. Maka penyidik seharusnya segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 Ayat 1 UU Tipikor.

Dari surat dakwaan JPU, pihak-pihak yang melakukan pembayaran baik kepada pajak dan/atau PT PPI sampai akhirnya oleh JPU dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara adalah transaksi yang tidak dilakukan terdakwa. Melainkan dilakukan oleh 9 perusahaan swasta selaku penjual gula dan sebagai wajib pajak.

Dalam hal itu, pertanggungjawaban atas pembayaran penerimaan negara merupakan tanggung jawab pribadi dari wajib pajak yang bersangkutan, dan sesuai dengan asas pertanggungjawaban personal dalam hukum pidana yang menyatakan pertanggungjawaban dalam hukum pidana bersifat pribadi.

"Dengan demikian, terdakwa selaku menteri perdagangan demi hukum tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Dalam kasus ini, oleh karena JPU dalam surat dakwaannya telah menetapkan terdakwa sebagai pihak yang ikut bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan sembilan perusahaan dengan PT PPI, secara terang membuktikan bahwa JPU telah error in persona dalam menetapkan TTL sebagai terdakwa dalam perkara ini," tegas kuasa hukum Tom Lembong.

Kuasa hukum juga menyoroti soal JPU yang menggunakan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara atas dugaan Tipikor dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai dasar dalam menguraikan peristiwa terjadinya kerugian keuangan negara dalam perkara a quo.  

Faktanya kegiatan importasi gula di Kemendag pada 2015-2016 telah diaudit BPK dengan kesimpulan tidak terdapat kerugian keuangan negara berdasarkan laporan hasil pemeriksaan atas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor tahun 2015-semester I tahun 2017 pada Kemendag dan instansi/entitas terkait nomor 47/LHP/XV/03/2018 tanggal 2 Maret 2018.

"Sampai saat ini tidak pernah terdapat putusan pengadilan, penetapan, dan/atau keputusan yang membatalkan LHP BPK 2015-2017, oleh karena itu JPU demi hukum tidak dapat mendasarkan surat dakwaannya dengan hasil BPKP yang objeknya sama dengan LHP BPK. Dengan demikian surat dakwaan penuntut umum haruslah dinyatakan batal demi hukum," tegasnya.

Kuasa hukum Tom Lembong juga menilai bahwa JPU tidak cermat dalam menyusun unsur melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang dalam surat dakwaannya. Sebab seluruh perbuatan terdakwa yang diuraikan dalam surat dakwaan seluruhnya merupakan bentuk tindakan administratif dalam jabatan terdakwa sebagai Menteri Perdagangan yang senyatanya telah ditembuskan kepada instansi terkait dan tidak terdapat keberatan.

Dengan demikian, keputusan yang telah ditetapkan terdakwa sebagai Menteri Perdagangan dianggap sah, memenuhi Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), dan berdasarkan pemisahan fungsi (Segregation of Function) di dalam Kemendag.

"Quod non terdapat keberatan dalam tindakan terdakwa maka hal tersebut harus diperiksa dan diadili pada Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai UU Administrasi Pemerintahan," tutur kuasa hukum Tom Lembong.

Lebih lanjut, surat dakwaan JPU juga dianggap tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap. Karena tidak menguraikan peristiwa mengenai harga beli gula kristal putih (GKP) yang dilakukan Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskopol), dan Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI-Polri dari PT Angels Products, PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, dan PT Berkah Manis Makmur.

"Padahal JPU menggunakan selisih bea masuk dan pajak dalam rangka impor dari realisasi kerja sama Inkopkar, Inkoppol, dan Puskoppol dengan delapan perusahaan swasta sebagai dasar perhitungan kerugian negara. Dalam hal ini JPU dalam dakwaannya hanya menjelaskan secara rinci bagaimana PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) telah membeli GKP dari delapan perusahaan swasta sebesar Rp9.105/kg dibandingkan dengan Harga Patokan Petani (HPP) sebesar Rp8.900/kg," paparnya.

Uraian mengenai kerugian negara dalam surat dakwaan dianggap tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap karena mengabaikan ketentuan Pasal 4B UU 1/2025 tentang perubahan ketiga atas UU 19/2003 tentang BUMN Juncto Pasal 1 Ayat 2 KUHP.

JPU dianggap tidak cermat dalam menghitung kerugian keuangan negara akibat perbuatan terdakwa karena dalam hal ini telah mengabaikan status PT PPI yang merupakan perusahaan berstatus BUMN, yang mana memiliki kekayaan terpisah dari keuangan negara, sehingga keuntungan maupun kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN.

Selain itu, JPU juga dianggap tidak cermat dalam menghitung kerugian keuangan negara karena telah mengabaikan Pasal 1 Ayat 2 KUHP yang menjelaskan bahwa bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.

Surat dakwaan dianggap tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, lantaran JPU menggunakan HPP dalam menyimpulkan adanya kemahalan harga beli dan selisih keuntungan yang diterima 9 perusahaan swasta dari hasil jual-beli GKP dengan PT PPI.

Padahal, sesuai Pasal 1 angka 2 Permendag 35/2015 dan Permendag 42/2016, HPP hanya berlaku di tingkat petani, sedangkan dari awal JPU telah mengetahui kedudukan sembilan perusahaan swasta yang merupakan importir dan produsen gula, bukan berkedudukan sebagai petani.

"Selain itu, surat dakwaan JPU senyatanya tidak mencantumkan dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang relevan dalam menggunakan HPP dalam perkara a quo, dan JPU juga tidak menguraikan tahun realisasi pembelian GKP oleh PT PPI kepada sembilan perusahaan swasta," kata kuasa hukum Tom Lembong.

Terakhir, surat dakwaan dianggap tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap karena tidak menguraikan peristiwa dugaan Tipikor dalam kegiatan importasi gula di Kemendag sejak 2015-2023 sebagaimana Surat Perintah Penyelidikan, Surat Perintah Penyidikan, Surat Penetapan Tersangka, dan Surat Penetapan Penahanan yang menjadi satu-kesatuan dengan surat dakwaan.

Bahwa dalam surat dakwaannya, JPU hanya menguraikan peristiwa dugaan tindak pidana a quo yang terjadi pada 2015-2016, sehingga surat dakwaan harus batal demi hukum.

Menurut kuasa hukum Tom Lembong, objek perkara dalam dakwaan JPU merupakan kebijakan menteri yang dilindungi UU 30/2014 tentang Administrasi Negara. Aturan itu memberikan kewenangan kepada pejabat negara dalam hal ini menteri perdagangan.

Penilaian terhadap kebijakan yang dikeluarkan Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan harus mengikuti norma hukum, yang secara khusus telah diatur sebagaimana dalam UU Administrasi Negara.

"Apa yang menjadi dakwaan Jaksa hari ini bisa disebut sebagai kriminalisasi hukum, terutama terkait dengan kebijakan Menteri Perdagangan. Jika kriminalisasi seperti ini terus berlanjut, maka jangan heran jika akan muncul ketidakpastian hukum, baik yang terjadi saat ini, maupun di hari yang akan datang. Bahkan, kriminalisasi hukum ini kelak akan dijadikan alat untuk menghabisi lawan politik," tegas Ari Yusuf Amir.

"Berangkat dari fakta hukum di atas, secara terang benderang membuktikan bahwa dakwaan JPU terhadap TTL dalam kasus ini sama sekali tidak berdasar dan mengada-ada. Kasus ini adalah bentuk rekayasa hukum yang dituduhkan kepada TTL karena perbedaan haluan politik. Oleh karena itu, pengadilan harus segera membebaskan TTL. Memulihkan statusnya sebagai warga negara yang merdeka dan dilindungi hukum," sambung Ari Yusuf menutup. rmol news logo article
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA