Permasalahan itu berawal dari perselisihan antara suami Ratih, Raksasabidin Napitupulu dengan seorang pramugari Garuda. Perselisihan itu timbul akibat pelayanan yang dianggap kurang baik oleh pramugari tersebut terhadap beberapa penumpang.
“Suami saya merasa tersinggung oleh komentar pramugari, tapi berusaha meredakan situasi dengan candaan mengucapkan suatu kalimat yang ternyata tanpa sepengetahuan suami saya bahwa kalimat tersebut dilarang untuk diucapkan,” ujar Ratih, Jakarta, Rabu (13/3).
“Akibatnya, suami saya tidak diizinkan untuk kembali ke Indonesia dan diserahkan kepada petugas imigrasi dan polisi bandara untuk investigasi lebih lanjut. Padahal suami saya sudah dua kali umroh, tentu tidak ada unsur jahat ataupun niatan jahat sama sekali, itu murni hanya bercanda,” tambahnya.
Ratih menuturkan kurangnya bantuan yang diberikan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah dalam menangani kasus suaminya di Arab Saudi berdampak pada makin berbelitnya permasalahan ini.
Ratih menceritakan bahwa putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman penjara 8 bulan dan denda senilai 10.000 Riyal Arab Saudi kepada suaminya, harus dibatalkan demi hukum.
Ratih menjelaskan bahwa terdapat kutipan kesaksian suaminya dalam putusan pengadilan yang berbanding terbalik dengan fakta sebenarnya.
“Jelas ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam proses hukum. Dari sini kami juga melayangkan permohonan bantuan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Surat permohonan bantuan pun dilayangkan tertuju pada Presiden Joko Widodo,” jelasnya.
Upaya Ratih itu mengacu pada Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menyatakan: "Pemerintah Republik Indonesia melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di Indonesia."
“Kan di sini jadi jelas juga bahwa pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan warga negaranya yang menghadapi masalah hukum di luar negeri. Hal ini mencakup memberikan perlindungan, bantuan, dan dukungan kepada warga negara Indonesia yang mengalami masalah hukum di negara asing, termasuk dalam hal investigasi, pengadilan, dan proses hukum lainnya,” tegas Ratih.
Dengan demikian, dia berharap Pemerintah Indonesia memberikan bantuan dan perlindungan kepada warga negaranya yang mengalami kesulitan hukum di luar negeri, sesuai dengan prinsip kedaulatan negara dan perlindungan hak asasi manusia.
Ratih juga menceritakan bahwa ada permasalahan hukum yang serupa dialami oleh dua warga negara Indonesia (WNI) bernama Ummi Widya Yani dan Triningsih pada tahun 2017.
“Kedua WNI tersebut mengalami situasi yang mirip dengan yang dialami oleh suami saya. Namun, berkat upaya diplomasi dan komunikasi yang dilakukan oleh perwakilan Kementerian Luar Negeri Indonesia, yaitu Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) atau Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dengan otoritas Kerajaan Arab Saudi, kedua WNI tersebut akhirnya dibebaskan dari masalah hukum yang mereka hadapi,” beber Ratih.
Dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa ada preseden di mana pihak diplomatik Indonesia berhasil menyelesaikan kasus serupa dengan sukses.
Pengalaman ini memberikan contoh bahwa melalui diplomasi yang efektif dan komunikasi yang baik antara pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah Indonesia dan otoritas asing, masalah hukum yang dihadapi oleh WNI di luar negeri dapat diselesaikan dengan baik dan adil.
“Begitu juga dengan permasalahan hukum yang dialami oleh suami saya, semoga pengalaman sebelumnya tersebut dapat menjadi landasan untuk menegaskan pentingnya upaya diplomatik dan komunikasi yang efektif dalam menangani kasus serupa,” jelasnya lagi.
“Diharapkan bahwa berkat upaya yang dilakukan oleh pihak berwenang, termasuk KJRI atau KBRI, masalah hukum yang dihadapi oleh suami saya juga dapat diselesaikan dengan baik dan adil, seperti yang terjadi pada kasus sebelumnya,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: