Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, pada media gathering sosialisasi Pemilu 2024 yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama KPK, di Jakarta, Senin (3/7).
Dia mengatakan, kurang dari lima bulan lagi Indonesia memasuki tahun politik 2024. Di saat yang sama, potensi praktik
money politics menjadi salah satu tantangan yang perlu diatasi bersama, melalui sinergi dan kolaborasi berbagai elemen bangsa, termasuk media massa.
Alex menyorot masih banyaknya kepala daerah yang korupsi. Salah satu penyebabnya adalah
money politics saat Pemilu, yang akhirnya memunculkan sosok pemimpin yang tidak memiliki kapasitas dan integritas.
"Sebuah pertanyaan besar, kenapa banyak kepala daerah yang korupsi, ternyata karena biaya politik yang mahal. Itu akar masalahnya," ujar Alex.
Berdasar survei Kemendagri dan KPK, kata dia, biaya alokasi calon kepala daerah, baik itu walikota ataupun bupati, antara Rp20 miliar-Rp30 miliar.
"Padahal itu belum dapat dipastikan menang. Sehingga terbayang berapa banyak biaya yang harus dilipatgandakan jika ingin menang," tegas Alex.
Tak jarang, sambung dia, dana sponsor atau vendor daerah setempat menjadi salah satu sumber pendanaan bagi biaya politik. Melalui pendanaan itu, calon yang didukung diharapkan dapat menang dan membayarnya dengan mempermudah vendor pada lelang proyek pembangunan nantinya.
Padahal, kata Alex, politik uang termasuk pelanggaran. Pada UU 10/2016 tentang Pilkada, pasangan calon yang melakukan politik uang bisa mendapat sanksi administrasi sampai pidana.
Dia berharap semua pihak mampu dan tegas menolak praktik politik uang yang sejatinya merusak iklim dan sistem demokrasi.
Terkait upaya pemberantasan korupsi, Alex juga menyoroti peran strategis media di Indonesia. Fokus media atas kinerja KPK diharapkan tak semata tentang penindakan, khususnya OTT, tapi juga tentang tugas KPK lainnya.
KPK berharap media dapat terus berperan aktif menggencarkan upaya pendidikan antikorupsi bagi masyarakat, terutama jelang Pemilu.
"Mari kita sukseskan Pemilu berintegritas dan menggandeng masyarakat untuk memilih calon yang berintegritas serta memiliki kapasitas. Bersama kita kampanyekan Hajar Serangan Fajar!" tegas Alex.
Sementara itu Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, mengatakan, berdasar hasil kajian, 95,5 persen dari modus utama korupsi politik yang ditemukan, terkait finansial atau keuangan.
Mayoritas masyarakat, kata Wawan, masih menerima uang saat Pemilu, dengan alasan faktor ekonomi, tekanan sosial, permisif karena risikonya kecil, dan belum paham tentang politik uang.
Karena itu KPK mengupayakan strategi komunikasi yang relevan dan bersinergi dengan media. Usaha itu berfokus pada kekuatan media, kekuatan endorser, kekuatan engagement, kekuatan momentum, dan kunjungan ke media-media terpilih yang akan melakukan sosialisasi ke komunitas.
"Usaha itu kita kemas dalam kampanye Hajar Serangan Fajar. Tema itu lebih relevan. Menurut rencananya, 14 Juli mendatang tagline itu diluncurkan," katanya.
Sementara itu, Plh Menteri Kominfo, Mahfud MD, mengatakan, politik uang akan selalu ada. Pemimpin yang melakukan korupsi ibarat penjahat, yang dapat merusak masa depan negara, sehingga perlu dilawan dengan kekuatan seluruh anak bangsa.
"Perlu sinergi antar instansi, penyelenggara, penegak hukum, dan media. Jangan sampai ada intervensi atau ada tumpang tindih dalam menciptakan iklim Pemilu yang berintegritas. Kuatkan rasa cinta terhadap bangsa, itu penting terus disuarakan," kata Mahfud.
Media gathering juga mengagendakan diskusi dengan CEO/direktur utama/pimpinan redaksi media di Indonesia. Hadir pada kesempatan itu, Direktur Sosialisasi dan Kampanye KPK, Amir Arief, Karo Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak, dan Dirjen IKP, Usman Kansong.
BERITA TERKAIT: