Menurut Gurubesar Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof Dr Benny Riyanto, KUHP lama peninggalan Belanda sampai saat ini belum ada terjemahan resminya, sehingga menimbulkan multitafsir.
“Selain itu, (KUHP lama) belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi mencerminkan dasar negara falsafah Pancasila,†kata Prof Benny dalam diskusi yang digelar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Rabu (11/1).
Pihaknya mengamini, perjalanan KUHP kerap dianggap sebagai produk hukum yang tidak memenuhi prosedur. Padahal, kata dia, prosesnya sudah jelas sejak diajukan kembali oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015.
“Saat itu sudah ada Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,†imbuhnya.
Urgensitas menggantikan KUHP lama ke KUHP baru juga karena ada pergeseran paradigma keadilan. Jika dulu menggunakan paradigma keadilan retributif, kini menjadi keadilan yang korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban, dan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku.
Masih dalam diskusi tersebut, Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Dr Yenti Garnasih meyakini adanya KUHP baru akan membuat penegakan hukum lebih adil.
“KUHP baru ini menjadi pedoman agar hukum tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas, sehingga masyarakat dapat terlindungi. KUHP ini
insyallah lebih baik," kata Dr Yenti.
BERITA TERKAIT: