Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Said Salahudin Serukan Pemohon Sengketa PSU Di MK Tuntut KPU, Jika Gugatan Pilkada Jilid II Dianggap Tidak Berkepastian Hukum

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Selasa, 11 Mei 2021, 05:57 WIB
Said Salahudin Serukan Pemohon Sengketa PSU Di MK Tuntut KPU, Jika Gugatan Pilkada Jilid II Dianggap Tidak Berkepastian Hukum
Pemerhati hukum tata negara sekaligus Direktur Sinergi Masyarakat, Said Salahudin/Net
rmol news logo Pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait perselisihan hasil pemilihan kepala daerah tahun 2020 dengan obyek sengketa pemungutan suara ulang atau perhitungan suara ulang (PSU), mendapat kritik dari pemerhati hukum tata negara, Said Salahudin.

Said Salahudin menilai, pernyataan Komisioner KPU, Hasyim Hasyari yang mengatakan bahwa Putusan MK PHPU Pilkada 2020 adalah praktik ketatanegaraan baru karena tidak ada regulasinya, serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap hasil pemilu, adalah tidak benar.

Pasalnya, berdasarkan pengalamannya mengadvokasi gugatan Pilkada pada 2010-2011 silam di MK, terdapat hal serupa yang terjadi seperti yang ada sekarang ini. Yaitu, PSU yang menjadi perintah MK dalam putusan gugatan jilid pertama, hasilnya kembali didaftarkan sebagai perkara sengketa baru.

"Praktek ini sejak dulu. Saya juga menangani perkara MK sejak tahun 2010-2011, itu sudah 10 tahun yang lalu sudah begitu," ujar Said Salahudin saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (11/5).

"Sekarang, MK perintahkan PSU karena tidak adil. Nah, apakah (hasil) PSU itu pasti terjamin adil? Kan belum tentu. Karena itu maka harus diuji lagi ke MK," sambungnya.

Dari situ, Direktur Sinergi Masyarakat ini mematahkan logika KPU yang menilai sengketa Pilkada jilid II berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Kenapa di dalam hukum kita itu, di kekuasaan Mahkamah Agung dikenal PK (Peninjauan Kembali)? Bukankah keputusan kasasi Mahkamah Agung final dan mengikat?" beber Said Salahudin.

"Nah itu salah satu contoh yang menunjukkan bahwa sepanjang keadilan belum ditemukan maka pemohon diperbolehkan menggugat," imbuhnya.

Disamping itu, Said Salahudin juga menyebutkan perintah konstitusi yang memerintahkan MK untuk memeriksa dan mengadili perkara hasil pemilihan. Yang di mana artinya, setiap hasil pemilihan umum, termasuk PSU, berwenang bagi MK untuk mengadilinya.

Termasuk, lanjut Said Salahudin, dengan para pemohon yang dalam hal ni peserta pemilihan. Karena MK berwenang memeriksa dan mengadili perkara PSU maka paslon pilkada pun punya hak untuk memohonkan gugatannya.

"Tidak ada batasan (gugatan perselisihan hasil pemilihan). Karena, misalnya Putusan MK yang kemarin menyatakan terjadi pelanggaran, itu putusan jilid satu. Tapi kan putusan jilid duanya belum. Kalau sekarang MK dalam putusan jilid duanya perintahkan PSU, maka terbuka ruang untuk dilakukan PSU jilid tiga, kan begitu," ungkapnya.

Lebih lanjut, Said Salahudin menegaskan bahwa dalam Undang-Undang (UU) Pemilu pun disebutkan bahwa PSU adalah bagian dari tahapan pilkada yang ada di bagian penghujung dalam proses transfer suara rakyat kepada calon pemimpin di daerahnya.

Sehingga karena itu jelas bahwa PSU memiliki hasil yang bisa menjadi obyek gugatan sengketa di MK.

"Jadi kalau KPU ngomong begitu, saya serukan kepada semua calon yang mengajukan permohonan ke MK untuk tutut KPU-nya (ke pengadilan). Saya siap mengadvokasi mereka. Kita gugat KPU rame-rame," tandas Said Salahudin. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA