Ketidakpatuhan Pemprov Jabar tersebut menurut pengamat kebijakan publik Yanuar Wijanarko berdampak pada gubernur dapat dikenakan sanksi pidana, sesuai Pasal 2 Undang-Undang 51 PRP tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
"Jika kasus ini sudah inkracht maka pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan pidana dengan hukuman pidana kurungan," ujarnya kepada wartawan, Kamis (13/7).
Menurut Yanuar, penerapan pasal 6 undang-undang tersebut sudah tepat. Pasalnya, sengketa lahan sudah menyelesaikan proses hukum di tingkat Peninjauan Kembali. Jika Gubernur Aher masih ngotot untuk menguasai lahan maka secara otomatis sudah melakukan perbuatan melawan hukum.
Yanuar pun menyarankan bagi pemilik lahan yang sah untuk melaporkan hal ini ke Komisi III DPR RI, Badan Pertanahan Nasional, serta Komnas HAM. Dia menambahkan, sangat disayangkan jika kepala daerah setempat bersikap arogan dan tidak memberikan contoh taat hukum kepada warganya.
Lahan atas nama R. Cipta Adikusumah yang disengketakan tersebut terletak di Jalan Ir. H Djuanda atau kawasan Dago, dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Namun pihak pemprov tetap saja tidak memiliki niat untuk patuh pada hukum. Proses eksekusi yang dilakukan pengadilan bahkan dikesampingkan begitu saja.
Alih-alih mengembalikan hak keluarga Adikusumah, Pemprov Jabar dalam hal ini Gubernur Aher malah melaporkan kasus tersebut ke Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi menelusuri putusan yang memenangkan penggugat.
"Sungguh tidak masuk akal jika dianggap ada permainan antara hakim dengan kami. Karena menurut keluarga, hakim hanya bertindak adil. Kami bukanlah orang berpunya yang dapat mencampuri putusan hakim sejak pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung," jelas Adikusumah.
Putusan PK Mahkamah Agung RI Nomor 444 PK/PDT/1993 tanggal 29 April 1997 menyatakan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 247/Pdt/G/1989/PN Bandung tanggal 27 September 1990, dan mengabulkan gugatan dan tuntutan penggugat untuk sebagian.
Di samping itu, putusan juga membatalkan demi hukum serta tidak berkekuatan hukum atas akta pengoperan dari tergugat lima atas nama Carl Weisberg kepada tergugat dua yakni Pemprov Jabar. Khususnya sebagaimana yang dituangkan dalam isi perjanjian Akta Nomor 134/1954 yang dibuat oleh dan di hadapan Meester Tan Eng Kian, notaris di Bandung.
Sementara Aher mengatakan sengaja melaporkan pada KPK karena menilai janggal perkembangan perkara tersebut, kendati mengakui belum memegang bukti soal dugaan penyimpangan yang terjadi. Dugaan keganjilan perkembangan perkara itu juga dilaporkan pada Komisi Yudisial karena putusan pengadilan yang menjadi dasar eksekusi pengosongan lahan dan gedung Dinas Peternakan itu mengabaikan BPN yang menyatakan persil yang diperkarakan berbeda.
"KY harus memeriksa hakim-hakim perkara ini," kata Aher.
Aher pun menolak pengosongan kantor Dinas Peternakan Jawa Barat di Jalan Ir. H Djuanda 358, Kota Bandung.
"Atas nama negara dan atas nama keadilan dan hukum akan tetap pertahankan, baik gedung dan lahannya untuk tetap menjadi aset negara," jelasnya.
Aher mengklaim aset tanah dan bangunan Dinas Peternakan Jabar yang ditaksir nilainya Rp 1 triliun itu masih milik pemprov.
"Pemerintah provinsi masih memiliki sertifikat yang sah, dan tidak ada perintah PK dari Mahkamah Agung membatalkan sertifikat," demikian Aher.
[wah]
BERITA TERKAIT: