Pakar hukum pidana Universitas Nasional, Azmisyah Putra mengatakan, penerbitan salinan putusan itu merupakan salah satu bukti bahwa MA serius mereforÂmasi hukum di Indonesia.
"Karena itu menyangkut perÂjuangan seseorang dalam menÂcari keadilan," kata Azmisyah dalam diskusi publik membeÂdah kasus JIS yang digelar di Universitas Nasional di Jakarta, kemarin.
Ia mengatakan, penyerahan salinan putusan kasasi itu meruÂpakan syarat bagi para terpidana untuk mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali. Penyerahan salinan itu sekaligus memberikan kepastian hukum bagi terpidana bahwa mereka memang menerima vonis seperti yang disebutkan selama ini.
"Kalau ada orang yang merasa tidak terpenuhi hak-hak hukumÂnya, dia bisa menentukan langÂkah selanjutnya demi mencari keadilan," katanya.
Pada 28 Juli 2015 lalu, MA menolak kasasi yang diajukan para terpidana dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun hingga 1,5 taÂhun, salinan putusan itu belum diserahkan oleh MA sehingga upaya hukum PK oleh terpidana masih terganjal. Dalam tataran akademis, Azmisyah meyakini penerbitan putusan kasasi bukan merupakan hal yang rumit.
Sebab, amar putusan tersebut sudah ada dan seharusnya tingÂgal dipublikasi sehingga bisa memberikan kejelasan secara hukum. Karena itu, dia menÂganggap belum terbitnya salinan putusan kasasi kelima petugas kebersihan yang telah diputusÂkan sejak 1,5 tahun lalu, adalah sesuatu yang janggal.
"Sekarang semua publikasi kan serba mudah, seharusnya hari ini diputuskan besoknya sudah ada salinannya," katanya.
Azmisyah pun menyatakan, keseriusan MA dalam mereformasi hukum bisa diragukan jika dalam publikasi salinan putusan saja justru mengundang tanda tanya.
"Karena penundaan penerÂbitan salinan putusan itu jusÂtru menjadi celah pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan keadaan," lanjutnya. Sementara itu, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan, masih ada celah hukum yang mesti diperbaiki secara serius oleh negara.
Dalam kasus JIS, salah satu poin yang mesti dibenahi adalah implementasi sistem peradilan itu sendiri. Dia menganggap dalam kasus JIS ini majelis haÂkim mengambil keputusan tidak berdasarkan kepastian alat bukti di persidangan.
Menurut Miko, hasil visum siswa JIS yang disebut menjadi korban kekerasan seksual secara materi sudah tidak memenuhi syarat kepastian hukum. Sebab, empat hasil tes tidak membuktiÂkan bahwa sang anak mengalami luka seperti yang diklaim selama ini. ***
BERITA TERKAIT: