Kebijakan tersebut menindaklanjuti MoU antara Sukamiskin dan Universitas Pasundan (Unpas) Bandung yang telah diteken pada April 2014 lalu.
Anggota Komisi III DPR RI, Martin Hutabarat, menyambut baik kebijakan Lapas Koruptor itu memberi kesempatan pada napi-napi koruptor yang ditahan di Lapas kelas I ini untuk menjalani kuliah Program Magister Hukum.
Dia menyadari ada yang setuju dan ada yang tidak setuju atas kebijakan tersebut, dan memang jauh lebih banyak jumlah yang tidak setuju. Alasannya, para koruptor yang ditahan itu akan lebih lihai dan berbahaya lagi bila ingin mengulang kejahatannya sesudah bebas, karena ilmunya semakin bertambah.
"Kehawatiran masyarakat ini dapat dimengerti, meskipun tidak seluruhnya benar. Sebab meningkatkan kecerdasan para napi koruptor ini bisa juga digunakan untuk menggugah rasa pertobatan mereka," ujar Martin, kepada
RMOL, Rabu (26/11).
Karena itu, menurut Martin, yang penting adalah penambahan materi pada kurikulum pendidikan S2 ini, yakni mata pelajaran anti korupsi.
Isi mata pelajaran ini, contohnya, apa akibat dari korupsi yang merugikan negara ini terhadap kehidupan rakyat. Juga bagaimana besarnya angka kemiskinan di Indonesia. Bagaimana pengaruhnya terhadap keluarga yang dicemooh masyarakat akibat tindak korupsi yang mereka lakukan. Bagaimana membentuk sikap mental pertobatan yang anti pada korupsi.
"Kalau kurikulum yang berisi mata pelajaran tadi dapat dijadikan sebagai mata pelajaran pokok, yang hasilnya paling penting dalam menentukan lulus tidaknya seseorang, saya setuju dan mendukung program studi Master ini di Lapas Kelas 1 Sukamiskin. Bahkan juga di Lapas-Lapas lain nantinya," terang anggota Badan Legislasi DPR RI ini.
Tetapi, kalau mata pelajaran anti korupsi ini tidak dijadikan sebagai mata pelajaran utama, Martin tegaskan sebaiknya program studi S2 bagi napi-napi koruptor sebaiknya dihentikan.
"Kalau tidak penuhi syarat yang sampaikan tadi, ini hanya akan menimbulkan kecemburuan pada napi-napi lain," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: