Keputusan tersebut ditetapkan dalam sidang Pengadilan Federal yang digelar Senin, 18 Agustus 2025.
"Merampas hak kerja seseorang secara ilegal berarti merampas sebagian martabat kemanusiaannya, dan hal ini tidak dapat diredakan hanya dengan ungkapan penyesalan," kata Hakim Michael Lee, dikutip dari 9News, Senin 18 Agustus 2025.
Pada tahun 2020, Qantas mengalihdayakan pekerjaan petugas bagasi, kebersihan, dan staf darat. Pengadilan menilai langkah itu dilakukan untuk melemahkan posisi tawar serikat pekerja dalam negosiasi upah. Qantas sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, namun ditolak. Hal ini membuka jalan bagi pengenaan denda.
Serikat Pekerja Transportasi meminta denda maksimal 121 juta Dolar Australia. Namun, Qantas mendesak Hakim Michael Lee agar menjatuhkan denda lebih ringan, yaitu di kisaran 40–80 juta dolar Australia.
Selain denda, Qantas juga sudah membayar 120 juta dolar Australia sebagai kompensasi kepada staf darat atas kerugian ekonomi, rasa sakit, dan penderitaan sejak pekerjaan mereka dialihdayakan. Pihak Qantas beralasan, tindakan mereka merupakan kesalahan manajemen, bukan pelanggaran hukum yang disengaja.
Masalah Qantas tidak berhenti di sana. Maskapai ini juga terbukti menjual tiket penerbangan yang sudah dibatalkan selama bertahun-tahun. Akibatnya, mereka dikenai denda tambahan sebesar 100 juta dolar Australia setelah digugat Komisi Persaingan dan Konsumen Australia.
Pemecatan ilegal itu terjadi saat Qantas dipimpin Alan Joyce. Di bawah kepemimpinannya, maskapai sempat merugi miliaran dolar akibat pandemi yang memukul industri penerbangan. Namun, Joyce tidak menyinggung skandal tersebut saat berbicara di sebuah konferensi pekan lalu. Ia justru menekankan keberhasilan Qantas bertahan di masa sulit.
“Ketahanan bukanlah reaksi sesaat, melainkan keputusan yang diambil bertahun-tahun sebelumnya, meski sering kali tidak nyaman atau tidak populer,” kata Joyce.
Qantas menjadi satu-satunya maskapai besar Australia yang tidak bangkrut selama atau setelah pandemi.
BERITA TERKAIT: