Aturan tersebut dibuat merespons kekhawatiran bahwa data pengguna AS yang dikumpulkan TikTok rentan dieksploitasi pemerintah Tiongkok.
TikTok milik perusahaan Tiongkok ByteDance berulang kali menegaskan bahwa mereka bekerja secara independen dan tidak memiliki kaitan dengan pemerintah di negara tersebut.
Tidak terima dengan adanya undang-undang tersebut, TikTok melancarkan gugatan di pengadilan Washington pada Senin (16/9).
Pengacara TikTok dan ByteDance, Andrew Pincus menyebut aturan itu secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hak berbicara 170 pengguna aplikasi tersebut di AS.
"Undang-undang ini memberlakukan larangan berbicara yang luar biasa dengan risiko yang tidak bisa diprediksi di masa depan," ujarnya, seperti dimuat BBC.
Piscus juga menegaskan bahwa TikTok adalah milik ByteDance Limited, perusahaan induk di Kepulauan Cayman dan tidak bisa dimiliki oleh pihak asing.
Hakim Ginsberg membantah argumen Piscus dengan berpendapat bahwa undang-undang itu dibuat secara umum untuk meregulasi perusahaan asing di Amerika, bukan hanya TikTok.
Pengacara Departemen Kehakiman Daniel Tenny menentang pembelaan TikTok bahwa kode di balik platformnya berbasis di Amerika Serikat.
"Tidak ada perselisihan di sini bahwa mesin rekomendasi tersebut dikelola, dikembangkan, dan ditulis oleh ByteDance, bukan TikTok AS. Tetapi nyatanya itu bukan ekspresi orang Amerika di Amerika. Apa yang ditampilkan telah diatur programer Tiongkok di Tiongkok," tegasnya.
Selain masalah data, pejabat dan anggota parlemen telah menyatakan kekhawatiran atas prospek TikTok yang digunakan oleh pemerintah Tiongkok untuk menyebarkan propaganda kepada orang Amerika.
Namun, para pendukung hak kebebasan berbicara yang kuat di Amerika, menegakkan hukum pencabutan atau pelarangan media berarti mengikuti langkah rezim otoriter yang bertolak belakang dengan konstitusi negara tersebut.
Terlepas dari bagaimana pengadilan banding memutuskan, sebagian besar ahli sepakat bahwa kasus tersebut dapat berlarut-larut selama berbulan-bulan, atau bahkan lebih.
Gautam Hans, profesor klinis hukum di Cornell Law School, mengatakan upaya banding baru kemungkinan besar akan terjadi.
Sementara Mike Proulx, wakil presiden dan direktur penelitian di firma analisis Forrester kemungkinan kasus akan berlanjut ke pengadilan tertinggi AS, Mahkamah Agung.
BERITA TERKAIT: