Menurut Garibashvili, sebutan itu memang melekat pada Rusia sejak mereka mengirimkan ribuan tentaranya ke desa-desa di Ossetia Selatan, Georgia, pada 8 Agutus 2008.
"Kami sudah lama tahu bahwa Rusia adalah agresor, kami tahu itu dan seluruh dunia tahu itu,” tegasnya, seperti dimuat
Al Arabiya pada Selasa (8/8).
Garibashvili juga menyalahkan Barat karena memberikan dukungannya kepada salah satu kubu di perang Georgia di masa lalu dan perang Ukraina saat ini.
Baginya, keberpihakan itu tidak diperlukan karena jika merujuk pada akhir perang Ossetia Selatan, Rusia akan kalah dengan sendirinya.
"Seperti pada Agustus 2008, musuh kita akan dihancurkan, dan Rusia akan mencapai perdamaian dengan caranya sendiri,” tegasnya.
Saat itu, Georgia melancarkan operasi militer besar-besar terhadap gerakan separatis yang didukung Rusia di Ossetia Selatan.
Merespon tindakan Georgia, Rusia membalas dengan mengirimkan ribuan tentara ke wilayah tersebut pada 8 Agustus 2008.
Moskow berhasil menduduki sebagian besar wilayah selama lima hari sebelum akhirnya gencatan senjata tercapai lewat mediasi yang dilakukan presiden Prancis saat itu Nicolas Sarkozy.
Ratusan tentara dan warga sipil dari kedua belah pihak tewas selama perang 2008. PBB mengatakan sekitar 120.000 orang mengungsi, meskipun banyak yang kembali ke rumah mereka setelah itu.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: