Dalam pilpres di bulan September 2019 lalu, Ashraf Ghani memang berhasil mempertahankan kursi kekuasaannya. Namun, jumlah suara yang didapatknya berkurang sangat signifikan. Dari sekitar 10 juta pemilih, hanya 1,2 juta yang memberikan suara dalam pilpres itu.
Dalam putaran kedua Ashraf Ghani berhasil mengalahkan lawan terkuatnya, Abdullah Abdullah, dengan selisih suara yang sangat tipis. Suara yang diperolehnya hanya sebesar 50,6 persen dari 1,2 juta pemilih yang menggunakan hak pilih.
Hal berikutnya, Ashraf Ghani yang sebelum terjun ke dunia politik dikenal sebagai akademisi di John Hopkins University adalah tokoh independen yang tidak terafiliasi dengan partai politik manapun. Sementara yang dilawannya, Abdullah Abdullah dan Gulbuddin Hekmatyar adalah dua tokoh partai politik yang signifikan.
Ini artinya, pondasi kekuasaan Ashraf Ghani memang sangat rapuh. Dan ini tentu saja dibaca oleh Taliban.
Demikian antara lain yang dapat disimpulkan dari analisa yang disampaikan wartawan senior Teguh Santosa dalam dialog dengan RRI Pro3, Kamis pagi (19/8).
“Saya melihat pergantian politik kekuasaan di Afghanistan sebagai sebuah persitiwa politik an sich. Saya sebut an sich atau semata-mata sengaja untuk mengabaikan dulu variabel yang sekarang banyak dibicarakan orang, misalnya variabel Islam versi Taliban, atau pertanyaan apakah ini akan melebar kemana-mana,†ujarnya.
“Saya hendak batasi bahwa ini adalah peristiwa politik yang khas di Afghanistan, dimana fragmentasi elit sangat tinggi†katanya lagi.
BERITA TERKAIT: