Pemerintah baru saja mencabut izin empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah tersebut. Langkah ini dinilai sebagai bentuk koreksi terhadap kebijakan yang selama ini terlalu permisif terhadap eksploitasi sumber daya alam, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang.
Ekonom Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Muhammad Aras Prabowo, mengkritik keras kebijakan yang abai terhadap dimensi ekologis dan spiritual. Ia mencontohkan kebijakan tambang yang terjadi di Raja Ampat. Kendati pemerintah sudah mencabut izin empat perusahaan tambang di sana, namun peristiwa ini tetap meninggalkan beberapa catatan.
“Apa yang terjadi di Raja Ampat adalah contoh tragis ketika kepentingan ekonomi jangka pendek menyingkirkan prinsip kehati-hatian ekologis dan nilai-nilai spiritual. Negara seperti kehilangan kompas moral dan ekologisnya,” ujar Aras dalam keterangan yang diterima redaksi, Rabu, 16 Juli 2025.
Menurut dia, pendekatan pembangunan yang hanya bertumpu pada angka pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan adalah pendekatan yang ketinggalan zaman.
“Raja Ampat bukan sekadar aset geografis, tetapi zona sakral ekologis. Ia bukan tempat untuk dieksploitasi, melainkan untuk dilindungi dan diwariskan kepada generasi mendatang,” lanjutnya.
Ia juga menyoroti bagaimana nilai-nilai adat dan spiritual masyarakat Papua terinjak oleh logika industri ekstraktif.
“Dalam pandangan agama dan budaya manapun, merusak tanah suci demi keuntungan sesaat adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilahi dan tatanan kosmik. Ini bukan sekadar isu ekonomi, tapi juga moral,” tegasnya.
Pemerintah memang telah mengambil langkah dengan mencabut izin empat perusahaan tambang, setelah polemik yang berkepanjangan dan tekanan dari publik serta aktivis lingkungan. Namun, langkah ini dianggap belum cukup.
Berbagai kalangan mendesak agar Raja Ampat ditetapkan sebagai kawasan konservasi permanen yang tidak boleh disentuh oleh aktivitas tambang apa pun di masa depan.
“Jangan sampai kita mengulangi kesalahan masa lalu, di mana eksploitasi tambang meninggalkan kerusakan ekologis permanen yang tak bisa dipulihkan. Bila negara terus membiarkan kehancuran ini, maka Indonesia bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang menggali kubur ekologisnya sendiri,” tutur Aras.
Di tengah era perubahan iklim global yang semakin mengkhawatirkan, suara-suara seperti ini menjadi penting untuk mengoreksi arah pembangunan nasional. Ekonomi hijau, transisi energi berkelanjutan, dan pembangunan berbasis komunitas lokal menjadi solusi yang lebih relevan dibanding pertambangan yang rakus dan merusak.
Di akhir pernyataannya, Aras menyerukan agar negara hadir tidak hanya sebagai fasilitator investasi, tetapi sebagai pelindung nilai-nilai kehidupan yang luhur.
“Jika ekonomi dibangun di atas reruntuhan ekologi dan peradaban adat, maka kita tidak sedang menuju kemajuan, tetapi justru sedang mempercepat kehancuran kolektif kita sebagai bangsa,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: