Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Belajar dari Kasus BLBI

Dana Judol di Bank, E-Wallet dan Operator Seluler Seharusnya Bisa Disita

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Jumat, 20 Desember 2024, 13:23 WIB
Dana Judol di Bank, E-Wallet dan Operator Seluler Seharusnya Bisa Disita
Ilustrasi dana judi online/RMOL
rmol news logo Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri mengusulkan Kejaksaan Agung (Kejagung) berkolaborasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyita dana judi online (judol) yang mengalir lewat sistem pembayaran nasional yang diselenggarakan perbankan atau lembaga keuangan non-bank. 

"Itu pernah kita lakukan saat krisis moneter 1998. Di mana, banyak bank mendapat guyuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam implementasinya bank menyalahgunakan. Namun untuk menyelamatkan uang negara, penyelesaiannya di luar pengadilan," papar Deni di Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024.

Sehingga, lanjut dia, penyelesaian dana BLBI pada tahun tersebut, menjadi lebih cepat dan bisa melanjutkan kegiatan perekonomian yang lebih baik. 

"Maka untuk mempercepat penyelesaian duit judol sebaiknya BPK bekerja sama dengan Kejagung. Sita pendapatan judol di lembaga pembayaran di luar pengadilan, karena  bank yang dulu  menikmati  BLBI dan rekapitalisasi uang rakyat sekarang juga menikmati judi online karena bank tersebut menjadi agregator sistem pembayaran,” ungkapnya. 

Tindakan penyitaan duit-duit judol itu, kata Deni, BPK bersama Kejagung akan memberikan efek jera kepada lembaga  keuangan yang layanan transaksinya terkait dengan merchant judol.

"Lembaga sistem pembayaran, baik itu perbankan, e-wallet, operator seluler yang memfasilitasi judi online baik sengaja maupun tidak sengaja, mendapat ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar berdasarkan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pasal 27 ayat (2), dan pasal 45 Ayat (2)," bebernya. 

Selain itu, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara, atau denda Rp25 juta bagi pelaku perjudian. 

Kemudian bank dapat kehilangan dana hasil judol yang dianggap sebagai hak pemerintah, dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita. 

"Sanksi ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam judol tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko serius bagi reputasi dan operasional bank," ungkapnya lagi.

Berdasarkan data intelijen dari Kemenko Politik dan Keamanan (Polkam), jumlah masyarakat yang bermain judi online sepanjang 2024 mencapai 8,8 juta orang. Sebanyak 80 persen adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. 

"Jadi judi online merupakan wabah yang sangat serius yang telah menyebabkan risiko sistemik di sistem pembayaran. Selain itu, memengaruhi kehidupan masyarakat baik secara sosial ekonomi, kesehatan dan mental," imbuhnya. 

Lemahnya Pengawasan BI dan OJK

Di sisi lain, lanjut Deni, ada pihak-pihak yang menikmati cuan dari praktik judol dari sistem pembayaran yang dijalankan perbankan, e-wallet dan operator seluler. 

"Dalam hal ini, baik Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkontribusi besar. Karena lemahnya pengawasan kedua lembaga terhormat itu," jelas Deni. 

Masih kata dia, tak bisa dipungkiri, koneksi pembayaran melalui GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) maupun API (Application Programming Interface) di perbankan, sangatlah mudah. Demikian pula transaksi dari e-wallet ke PJP (penyedia sistem  pembayaran) melemahkan E-KYC (electronic know your costumer) dan E-KYB (electronic know your bisnis). 

"Ini bisa perbankan dan e-wallet tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu yang terkoneksi dalam  sistem pembayaran mereka adalah merchant judi online," ungkapnya.

Dalam hal ini, BI adalah lembaga yang mengeluarkan izin PJP lewat Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 22/23/PBI/2020. Dan, PJP mendapat izin sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE) lewar PP No 71/2019 dari Kementerian Komunikasi Digital (Kemkomdigi), akhirnya berevolusi menjadi media transaksi pembayaran dari merchant judi online. 

Berdasarkan data CBC, kata Deni, sepanjang 2017 hingga 2024, dana yang dinikmati perbankan, e-wallet dan operator seluler dari praktik judi online mencapai Rp1.416 triliun. Di mana, perbankan mendapat Rp3.000/transaksi, e-wallet Rp1.500/transaksi dan operator seluler mendapat Rp2.500 hingga Rp5.000 per top-up. 

"Selama delapan tahun, pendapatan bank dari transaksi judi online sekitar Rp70,5 triliun, e-wallet sebesar Rp11,5 triliun, operator seluler Rp4,2 triliun. dan  yg telah diblokir  Rp 101 triliun , total 187.2 triliun. Nah dana sebesar itu bisa diambil BPK bersama Kejagung," ungkap Deni. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA