Islamabad menandatangani perjanjian dengan pemberi pinjaman internasional yang berpusat di Washington tersebut di tingkat staf pada minggu kedua bulan Juli.
Menteri Keuangan Pakistan Muhammad Aurangzeb awalnya mengatakan bahwa kesepakatan tersebut akan diselesaikan pada Agustus, dan kemudian meralat dengan mengatakan itu akan selesai September.
Dalam komentar terakhirnya mengenai masalah tersebut, Aurangzeb mengatakan bahwa kesepakatan tersebut masih dalam "tahap lanjutan."
Penundaan ini menimbulkan kecurigaan dan memicu kekhawatiran tentang masa depan kesepakatan tersebut, yang dipandang penting untuk menjaga ekonomi yang goyah agar tetap bertahan.
Muzzammil Aslam, penasihat keuangan utama untuk Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, yang terlibat langsung dalam negosiasi tersebut, mengungkapkan bahwa penundaan tersebut tidak bisa dipahami.
"Penundaan dewan direksi tidak dapat dipahami," kata Muzzammil, dikutip dari
Nikkei Asia, Senin (9/9).
Seorang mantan pejabat pemerintah yang terlibat dalam pembicaraan pinjaman IMF sebelumnya memperingatkan bahwa IMF mungkin menuntut persyaratan yang lebih ketat sebelum menandatangani kesepakatan kali ini.
"Semakin besar kesenjangan antara kesepakatan tingkat staf dan persetujuan dewan oleh IMF, semakin ketat persyaratan yang harus dipenuhi Pakistan untuk mendapatkan pinjaman," kata pejabat tersebut kepada Nikkei dengan syarat anonim.
"Penundaan ini pasti akan merugikan kinerja ekonomi Pakistan yang sudah bergejolak," ujarnya.
Para pengamat dan pejabat yang terlibat dalam negosiasi baru-baru ini menunjukkan beberapa rintangan yang belum terselesaikan. Rintangan terbesar adalah kegagalan untuk melunasi utang sebesar 12 miliar Dolar AS dan memperoleh pinjaman sebesar 2 miliar Dolar AS lagi dari negara-negara kreditor, termasuk investor utama Tiongkok.
“Kami sedang berjuang untuk memperoleh pinjaman tambahan sebesar 2 miliar Dolar AS, yang merupakan hambatan utama untuk kesepakatan ini,” kata pejabat yang terlibat dalam pembicaraan baru-baru ini.
Pada Juli, Pakistan meminta Tiongkok untuk menunda tanggal pembayaran utang sekitar 15 miliar Dolar AS yang terutang kepada sektor listrik, tetapi pejabat tersebut mengatakan sejauh ini belum ada tanggapan dari Beijing.
“Ketidakmampuan (Pakistan) untuk meyakinkan (produsen listrik) Tiongkok untuk memberikan keringanan pembayaran utang telah muncul sebagai tantangan yang signifikan bagi Pakistan,” kata Aqdas Afzal, seorang profesor madya bidang pengembangan sosial dan kebijakan di Universitas Habib di Karachi.
Pakistan juga telah meminta pemerintah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk pinjaman tambahan yang dibutuhkannya sebesar 2 miliar Dolar AS.
“Pakistan menghadapi tantangan dalam mengamankan komitmen pembiayaan tambahan dari negara-negara sekutu, karena sebagian besar telah menghabiskan sumber pendanaannya setelah bertahun-tahun bergantung pada pelunasan utang,” kata Naafey Sardar, asisten profesor ekonomi di St. Olaf College yang berbasis di AS.
“Mengingat perpanjangan yang sedang berlangsung oleh negara-negara sahabat, prospek pinjaman baru tampaknya tidak mungkin," ujarnya.
BERITA TERKAIT: