Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Toto Pranoto mengatakan, LPEI merupakan salah satu BUMN di bawah Kementerian Keuangan. Selain LPEI, ada PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang juga di bawah kementerian pimpinan Sri Mulyani Indrawati.
Toto berujar, kasus LPEI ini harus menjadi bahan evaluasi agar integrasi pengelolaan BUMN menjadi satu pintu.
"Ini menunjukkan bahwa kualitas pengawasan masih bermasalah. Artinya, dewan pengawas yang mewakili
owner, yaitu Kemenkeu juga dianggap kurang kompeten dalam bekerja," kata Toto dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/7).
Kedudukan BUMN sebagai kementerian teknis juga dianggap menjadi anomali. Sebagai pemegang saham BUMN, Kemenkeu seperti ingin fokus mengendalikan perusahaan pelat merah bidang keuangan.
"Sementara Kementerian BUMN adalah kuasa pemegang saham BUMN, yang juga berarti sebagai pihak yang diberi mandat UU mewakili Kemenkeu dalam kelola BUMN," jelasnya.
Berkaitan dengan kasus kredit macet PT LPEI, Toto menganggap ini tidak ubahnya seperti kasus
fraud yang sempat menerpa di beberapa BUMN. Maka dari itu, ia menilai integrasi pengelolaan BUMN satu pintu perlu menjadi prioritas.
Ada beberapa kelebihan yang didapat jika integrasi pengelolaan BUMN dilakukan satu pintu. Pertama, kata Toto, koordinasi dan sinergi antar BUMN bisa dilakukan optimal.
"Kedua, pola pembinaan dan pengawasan BUMN bisa dalam satu SOP, sehingga penilaian dan monitoring kinerja lebih terkelola dengan baik," jelasnya.
Baru-baru ini, terungkap LPEI membukukan kredit macet (
non-performing loan) gross hingga 43,5 persen atau Rp32,1 triliun dari pinjaman yang disalurkan Rp73,8 triliun. Kondisi ini membuat Menkeu Sri Mulyani mengajukan PMN Rp10 triliun.
Sementara Direktur Eksekutif LPEI, Riyani Tirtoso mengaku jika lembaganya tidak memiliki infrastruktur dan sistem peringatan dini terhadap kualitas kredit debitur. LPEI juga tidak memiliki unit yang khusus untuk menangani kredit macet.
Dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (1/7) lalu, ia mengungkap kualitas kredit di lembaganya memburuk sebelum tahun 2018.
"Penyebabnya, sebagian besar pemberian kredit merupakan
over financing," ungkap Riyani.
BERITA TERKAIT: