Hal tersebut disampaikan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, setelah melihat realisasi penerimaan pajak negara yang tercatat anjlok 8,4 persen pada Mei 2024.
“Target pajak 2024 pastinya tidak akan tercapai.
Shortfall atau kekurangan penerimaan pajak 2024 diperkirakan bisa mencapai 15-20 persen dari tahun lalu,” ujarnya kepada
RMOL, Jumat (28/6).
Dikatakan Anthony, kondisi tersebut akan memicu kontraksi fiskal, yang akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Akan terjadi kontraksi fiskal, dan tentu saja akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Selain itu, ada faktor lain yang membuat target tersebut sulit tercapai. Yaitu dampak dari melemahnya kurs rupiah yang beberapa minggu ini terus bertengger di atas Rp16.400 per dolar AS, serta melesatnya harga pangan.
“Pelemahan kurs rupiah dan kenaikan harga akan membuat daya beli masyarakat turun, konsumsi turun,” sambungnya.
Pemerintah sendiri menargetkan pendapatan negara sebesar Rp2.802,3 triliun pada tahun ini, dengan sumber terbesar berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp2.309,9 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492 triliun.
Bahkan pemerintah menargetkan penerimaan pajak 2024 naik 7,2 persen. Namun, angka tersebut diyakini sulit direalisasikan karena penerimaan pajak tercatat hanya Rp760,4 triliun atau baru 38,2 persen dari target Rp1.988,9 triliun per Mei 2024.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mewaspadai kondisi keuangan RI dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Juni 2024.
Ia merinci pendapatan negara tercatat sebesar Rp1.123,5 triliun pada Mei 2024, atau mencapai 40,1 persen dari yang ditargetkan. Sementara total belanja negara mencapai Rp1.145,3 triliun atau mencapai 34,4 persen dari pagu yang ditentukan.
Kondisi itu telah membuat APBN mengalami defisit sebesar Rp21,8 triliun.
"Ini tentu sesuatu yang perlu untuk terus kita monitor dan waspadai," kata Sri Mulyani pada Kamis (27/6).
BERITA TERKAIT: