Anggota Komisi VII DPR, Harry Poernomo menegaskan, wacana pembentukan holding migas oleh Menteri BUMN dengan memasukkan PT PGN sebagai anak perusahaan PT Pertamina, sama sekali tidak sinkron dengan rancangan revisi UU Migas.
"Kami lihat tidak selaras dengan wacana di komisi VII, kalau PGN dimasukkan ke Pertamina, pasti ada gesekan. Ini nanti terjadi gejolak, makanya rekan kami Komisi VI selaku mitra BUMN juga telah mengingatkan pemerintah," kata Harry saat dihubungi.
Dia menjelaskan, memang ada wacana pembentukan lembaga sejenis holding yang nantinya berbadan khusus atau Badan Usaha Khusus (BUK). BUK ini dirancang untuk menaungi semua badan usaha yang bergiat di sektor migas, tak terkecuali PGN dan Pertamina.
"Kami itu pengennya menata secara holistik mengenai kelembagaan dalam UU Migas, terutama posisi SKK Migas dan terkait juga dengan Pertamina serta PGN. Nah yang kita pikirkan bukan menjadikan BUMN eksisting sebagai induk holding, kita ingin ada lembaga baru yang dibentuk, entah terserah apa namanya, dia bersifat khusus yang membawahi Pertamina, PGN, SKK, dan BPH," ujar Harry.
Adapun pokok pikiran ini muncul dilatarbelakangi oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir beberapa pasal dalam UU 22/2001 tentang Migas yang berbuntut pada pembubaran BP Migas. Sejak itu, dibentuk lembaga sementara/ad hoc (SKK Migas) yang menjalankan tugas dan fungsi BP Migas sembari DPR merevisi UU yang telah dianulir oleh MK tersebut.
Permasalahannya, dalam mandat MK bahwa kuasa usaha harus diberikan kepada badan usaha, dan SKK Migas tidak dapat berdiri sendiri seperti saat ini karena ia bukan merupakan badan usaha.
"Kuasa pertambangan itu tetap di negara, cadangan tidak bisa kuasanya diberikan kepada siapapun. Tapi kuasa usaha diberi kepada BUMN, nah SKK Migas bukan BUMN. Ini yang jadi perdebatan karena tidak mungkin dikembalikan seperti dulu kuasanya pada Pertamina dan SKK Migas Masuk ke Pertamina, lalu PGN juga holding masuk ke Pertamina, ini pasti terjadi gesekan dan tidak produktif," ujar Harry.
"Makanya di Komisi VII muncul pikiran untuk membentuk BUK yang di bawahnya ada Pertamina, PGN, SKK Migas, dan BPH Migas," tambah dia.
Harry yakin pembentukan BUK menjadi jalan tengah untuk mengakomodir karakter dan budaya perusahaan.
"Masing-masing budaya perusahaan berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Kalau permainan liga Inggris tidak bisa dipaksakan di Indonesia karena orang dan staminanya berbeda. Jadi harus diakomodir. Nah begitupun penataan BUMN ini," tuturnya.
Dia menambahkan, tatkala terbentuk BUK yang menaungi sektor migas, kewenangan kepala SKK Migas akan sedikit berkurang karena penandatanganan kontrak akan dilakukan oleh Dirut BUK.
"Jangan pula SKK Migas bicara (kami kan SK Presiden, kok di bawah BUK) nah repot kalau itu. Faktanya sekarang walau SK Presiden tapi laporannya Ke Menteri! apa bedanya? Jadi nanti yang tandatangan bukan Pertamina, tapi anak usahanya dengan Dirut BUK, pemilihan direksi BUK lewat DPR," pungkas dia.
[wid]
BERITA TERKAIT: