Hal itu disampaikan dua saksi ahli, yaitu mantan Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Pengeluaran Pusat dan Daerah, Dani Sudarsono, serta pakar hukum administrasi negara, Philipus M Hadjon, saat sidang gugatan Mohammad Bahalwan terhadap BPKP di Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (14/10).
"Sesuai Undang-undang Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian keuangan negara,†kata Dani
Menurut Dani, yang juga menjabat Ketua Majelis Kehormatan Akuntan Indonesia (IAI), sesuai UU 15/2004 Pasal 2 ayat 2, yang memiliki kewenangan untuk mengungkap indikasi adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dia mengakui, BPKP memang pernah memiliki kewenangan menghitung kerugian negara dengan landasan hukum Keppres 31/1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yaitu Pasal 3 huruf J, L, N dan O dan khususnya Pasal 22 sampai 24. Namun peraturan tersebut tidak berlaku lagi sejak 27 Maret 2001 dengan keluarnya Keppres 42/2001.
Lebih lanjut Dani menuturkan, sesuai UU 15 Tahun 2004 pasal 13, Pemeriksa (BPK) dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Pemeriksaan investigatif adalah bagian dari jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Terkait laporan BPKP dalam pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2, Dani menyatakan laporan tersebut hanya bisa dijadikan landasan adanya kerugian negara jika dilakukan sesuai standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN) sebagaimana diatur dalam UU 15/2004 dan merupakan pelaksanaan pekerjaan untuk dan atas nama BPK.
Pernyataan Dani diperkuat oleh pakar hukum Administrasi Negara, Philipus M Hadjon. ia mengatakan, BPKP hanya dapat melakukan pemeriksaan dalam rangka pengawasan internal pemerintah, dan tidak memiliki wewenang untuk melakukan audit terhadap BUMN karena BUMN bukan bagian internal pemerintah. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentangSistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Hadjon menegaskan, tugas pemeriksaan berbeda dengan tugas pengawasan. Pemeriksaan yang dilakukan BPKP atas permintaan penyidik dan hanya berdasarkan dokumen dari penyidik. Karena itu, tidak ada opini dan hasil audit BKPP yang mempunyai kekuatan mengikat karena tidak didasarkan legalitas kewenangan.
Seperti diketahui, pada 6 Juni 2014 lalu, Direktur PT Mapna Indonesia, Mohammad Bahalwan, mengajukan gugatan di PTUN Jakarta terhadap Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi terkait perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2 PLTGU Belawan.
Kemudian pada 22 Juli 2014, Mapna Group Company (Mapna Co), perusahaan asal Iran yang menjadi kontraktor pada proyek LTE GT 2.1 dan 2.2, dan Chris Leo Manggala mengajukan permohonan intervensi untuk ikut sebagai pihak (Penggugat Intervensi) dalam perkara tersebut.
Pada persidangan tanggal 9 September 2014, Majelis Hakim PTUN Jakarta mengeluarkan putusan sela yang mengabulkan permohonan Mapna Co dan Chris Leo dkk karena pihak-pihak tersebut dinilai mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk masuk sebagai pihak dalam perkara tersebut.
Kuasa hukum Mohammad Bahalwan, Ari Juliano Gema, memaparkan alasan gugatan terhadap BPKP, yaitu Laporan BPKP tentang kerugian negara pada pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2 bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
[ald]
BERITA TERKAIT: