Sejarah perjalanan BCA dikupas dalam buku ini. Dimulai dengan nama NV Perseroan Dagang dan Industrie Semarang Knitting Factory sebagai cikal bakal BCA. Dua tahun berikutnya, pada 21 Februari 1957 namanya berubah menjadi NV Bank Central Asia. Mayoritas saham bank ini dimiliki oleh Keluarga Salim. Kantor Pusat kemudian dipindahkan dari Semarang ke Jalan Asemka, Jakarta Kota.
Baru pada 2 September 1975, nama bank diubah menjadi PT. Bank Central Asia (BCA). Sebelumnya BCA merger dengan Bank Gemari yang dimiliki Yayasan Kesejahteraan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Lalu pada 10 Januari 1979, BCA merger dengan Indo-Commercial Bank untuk kemudian berkembang menjadi Bank Devisa. Di periode ini, BCA mulai memperkuat Jaringan layanan ke seluruh Indonesia.
Secara perlahan, BCA menjadi bank besar dengan aset triliunan rupiah. BCA selalu menjadi pelopor dalam perubahan metode transaksi bank berbasis teknologi. BCA selalu konsisten memperbaharui produk dan layanan perbankan sesuai kebutuhan nasabah. Pada 1991, BCA mulai menempatkan 50 unit ATM di berbagai tempat di Jakarta. Berdasarkan laporan Keuangan Bank BCA per Desember 2020, bank dengan kapitalisasi terbesar di Indonesia ini meraup laba bersih Rp27,13 triliun.
Kendati demikian, dalam krisis moneter 1997, BCA yang begitu kokoh dan perkasa ternyata ambruk juga. Badai yang menerpa perekonomian Indonesia telah membuat BCA hancur lebur, tetapi pemerintah dan IMF memutuskan untuk menyelamatkan BCA. Rakyat Indonesia akhirnya harus membayar amat mahal untuk mempertahankan keberadaan BCA saat itu.
Tahun 1997 menjadi awal prahara ekonomi Indonesia. Posisi Bank Indonesia semakin tidak seimbang. Bank sentral itu kehabisan cadangan mata uang asing yang jumlahnya terbatas. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah RI mengumumkan paket kebijakan ekonomi. Tujuannya untuk memperbaiki nilai tukar rupiah yang terus anjlok. Akhirnya diputuskan (1) membantu bank-bank yang masih memiliki harapan hidup; (2) memerintahkan merger atau penjualan beberapa bank kepada bank-bank yang lebih mampu; dan (3) mencabut izin bank-bank yang sudah tidak memiliki harapan.
Di sini, penulis dengan gamblang mengurai kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu kepada bank-bank yang masih punya harapan hidup, salah satunya BCA. Walaupun di masa itu, BCA masih mampu memberikan dana talangan kepada Bank Yama yang hampir kolaps. BCA pun mendapat apresiasi dari Pemerintah RI melalui Mbak Tutut. Kehancuran BCA kemudian berawal dari adanya
rush para nasabah BCA karena isu meninggalnya Soedono Salim alias Liem Sioe Liong selaku pemegang saham mayoritasnya. Kurang lebihnya hoax, istilah anak zaman
now.
Namun prahara awal itu bisa diselesaikan. BCA masih bisa menjadi bank swasta yang selamat dalam guncangan ekonomi tersebut. Namun, berbagai gejolak ekonomi kembali terjadi. Kurs rupiah terhadap dolar AS terus merosot. Utang luar negeri pun terus membumbung tinggi. Kejadian demi kejadian di tahun 1997-1998 itu diurai dengan teliti oleh penulis. Baik dari sumber-sumber terpercaya seperti kumpulan berita saat itu, maupun analisis dari pakar ekonomi dari dalam dan luar negeri.
Kebijakan-kebijakan pemerintah guna meredam gejolak ekonomi yang dahsyat itu tak luput menjadi topik utama buku ini. Termasuk kebijakan BLBI yang menegaskan bahwa BI sebagai
lender of the last resort. Buku yang diterbitkan Deepublish Publisher dengan tebal 124 halaman ini membeberkan puncak prahara BCA yang terjadi dalam krisis ekonomi politik usai kejatuhan Soeharto. Hingga akhirnya, BCA disita negara melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Walaupun sudah diambil alih, keluarga Salim masih kebagian 7,2 persen saham.
BCA sendiri mencatatkan kerugian yang sangat besar di tahun 1998, yakni lebih dari Rp82 triliun, sehingga ekuitas BCA menjadi negatif. Prahara pun bertransformasi menjadi pralaya (kehancuran). Krisis politik ekonomi makin memuncak menjelang 1999. Berbagai konflik dan daerah minta merdeka, turut melemahkan kembali ekonomi Indonesia yang mencoba untuk bangkit.
Penulis dengan seksama mengurai berbagai agreement yang dilakukan pemerintah dan BCA di tengah kemelut ekonomi politik tersebut. Program restrukturisasi perbankan oleh pemerintah menyertai pemulihan BCA di periode tersebut. Menjelang transisi pemerintahan dari BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ditandai lepasnya Timor-Timur menjadi negara berdaulat. BI pun terus mendapat audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit itu kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Di sinilah ditemukan adanya penunggak BLBI.
Laporan audit BCA tahun 1999 telah menunjukkan perbaikan kinerja keuangan yang cukup signifikan. Setelah dua tahun terus merugi, tahun 1999 BCA telah menunjukkan perolehan laba. Di tengah prahara yang hampir mereda, audit BPK menemukan 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggungjawabkan. Menurut BPK, dana BLBI sebesar Rp144,54 triliun itu disalurkan ke 48 bank nasional. Dari jumlah tersebut, terdapat penyimpangan saat penyaluran menjadi kerugian negara mencapai Rp138,4 triliun.
Skandal itu terus menjadi bola panas hingga pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Siapa saja pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pusaran skandal itu juga diulas dalam buku ini. Masa-masa kritis berhasil dilalui BCA. Prahara demi prahara diselesaikan, salah satunya berkat BLBI yang turut menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS) BCA di masa krisis.
Salah satu keunggulan buku ini, adanya laporan keuangan yang detail serta keterkaitan dengan kondisi BCA dari masa ke masa. Hal itu menjadi daya tarik sebagai bahan kajian. Skema
backward linkage dan
forward linkage dalam suatu periode BCA bisa menjadi referensi yang komprehensif bagi para bankir saat ini. Bahkan termasuk pemangku kebijakan dan orang-orang yang berkecimpung dalam lembaga analisis ekonomi dan keuangan, buku ini sangat mungkin menjadi acuan analisis.
Pasalnya, ada-ada beberapa poin dan kondisi yang kemungkinan dapat terjadi lagi di masa saat ini. Sehingga butiran-butiran hikmah dan empiris dapat digunakan di masa sekarang dan yang akan datang. Tentunya sepak terjang BCA di masa kritis hingga bisa lolos dari lubang jarum sampai akhirnya jadi bank papan atas, dapat menjadi pelajaran berharga bagi bankir dan ekonom.
Bagi BCA sendiri catatan sejarah ini menjadi pijakan berharga dalam menapaki bisnis ke depan yang semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Bagi Pemerintah RI yang bercita-cita masuk menjadi 5 besar kekuatan ekonomi dunia, buku ini menjadi referensi tersendiri dalam perjalanan sejarah perbankan Indonesia.
BERITA TERKAIT: