Agus Salim lahir dari pasangan Sutan Mohamad Salim dan Siti Zaenah. Ayahnya orang yang cukup terpandang dengan jabatan terakhir Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Adapun ibunya juga berasal dari keluarga terpandang di tanah Minang.
Ada sekelumit cerita di balik nama Agus Salim. Ditulis Mukayat, dalam bukunya berjudul
Haji Agus Salim: Karya dan Pengabdiannya, pada usia balita hingga menjelang remaja, Mushudul Haq diasuh oleh seorang pembantu asal tanah Jawa yang kerap memanggil anak majikannya itu dengan sebutan “den bagus.†Panggilan itu kemudian dipendek menjadi “Gusâ€, yang melekat padanya hingga besar.
Panggilan Agus menjadi populer di teman-teman sekolah dasar dan guru-guru Mushudul Haq kecil. Cerita lain mengatakan, nama "August" ditambahkan oleh gurunya sewaktu sekolah dasar. Sedangkan kata Salim berasal dari nama ayahnya.
Pada masa itu, masyarakat minangkabau masih memang kuat adat istiadat dimana hukum garis keturunan melalui garis ibu (matrilinial). Penonjolan nama menurut garis keturunan ayah, adalah sesuatu yang belum lazim dan masih dianggap bertentangan dengan adat.
Pergantian nama dari Mushudul Haq menjadi Agus Salim menunjukkan keteguhan watak dan riwayat Agus Salim yang berani menentang adat.
Ketika Agus Salim berusia enam tahun, ayahnya telah menjadi Jaksa Kepala untuk daerah Riau dan sekitarnya. Posisi orang tuanya yang cukup terpandang, sebagai
ambtenaar dan bangsawan tinggi, membuat Agus Salim diterima belajar di Sekolah Dasar Belanda
Europeese Lager School (ELS).
Sejak kecil, Agus Salim telah menunjukkan diri bahwa ia adalah anak yang pintar dan berbakat. Kepala ELS yang berkebangsaan Belanda sangat senang dengan kecerdasan Agus Salim. Ia kepincut dan menawari Agus Salim untuk belajar sambil tinggal di rumahnya.
Sang ayah meyetujuinya, tapi dengan syarat. Anaknya setiap hari tetap pulang dan tidur di rumah. Jadi, saat makan pagi, siang, dan malam, Agus Salim berada di rumah sang Kepala Sekolah. Kehidupan sehari-hari di rumah kepala sekolah itu, membuat Agus Salim sangat fasih berbahasa Belanda di usia muda.
Setelah lulus dari ELS tahun 1898, Agus Salim dikirim ke Batavia untuk belajar di Hogere Burger School (HBS) selama lima tahun. Otak encer Agus Salim semakin terlihat. Ia berhasil lulus dengan nilai tertinggi. Ia menjadi lulusan terbaik HBS, tak hanya untuk HBS Batavia, tapi juga HBS lain (Bandung dan Surabaya).
Prestasi itu membuat namanya terkenal di seantero Hindia Belanda, terutama di kalangan kaum kolonial dan terpelajar.
Para gurunya berusaha mengupayakan beasiswa agar Agus Salim bisa melanjutkan pendidikan ke
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia). Agus Salim juga ditawari Raden Ajeng Kartini untuk mengambil beasiswa studi ke Belanda. Sebenarnya, fasilitas beasiswa ke Belanda itu adalah milik RA Kartini. Tapi ia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke Belanda karena akan segera menikah.
Usulan RA Kartini agar beasiswa untuknya diberikan kepada Agus Salim sempat ditolak Pemerintah Kolonial Belanda. Namun setelah pengajuan berkali-kali, permintaan Kartini dikabulkan.
Tapi, perjuangan gigih RA Kartini agar ia mendapat beasiswa itu menjadi sia-sia. Tawaran beasiswa di depan mata itu, justru akhirnya ditolak Agus Salim. Ia berpikir, jika menggantikan posisi RA Kartini, maka beasiswa yang didapatkannya itu bukan berasal dari niat baik Belanda kepada dirinya.
Meski tidak jadi meneruskan sekolah ke Belanda, Agus Salim tidak pernah berhenti untuk terus belajar. Ia tekun membaca beragam buku-buku ilmu pengetahuan maupun ilmu agama dari pelbagai sarjana barat dan sarjana-sarjana Islam.
“Agus Salim terus menerus belajar sepanjang hidupnya, benar-benar dia seorang
self made man yang berhasil,†tulis Mukayat.
Berbekal ilmu dari HBS Batavia, Agus Salim muda bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri, Riau. Sambil bekerja, hobi membacanya tak pernah berhenti. Ia juga terus menekuni beragam bahasa.
Perjalanan hidup dan karirnya berubah pada tahun 1905. Ketika itu, Snouck Hurgronye mengusulkan kepada pemerintah Belanda sebuah eksperimen penempatan tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar negeri.
Agus Salim mendapat tawaran bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Posisinya sebagai penerjemah dan mengurus urusan haji.
Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di kantor Duta besar Belanda di sana. Bekerja di kantor diplomat, kemampuan bahasanya pun berkembang pesat. Agus Salim mengusai bahasa Belanda, Arab, Inggris, Jerman, Prancis, Latin, China, Jepang, hingga Turki.
Tinggal di Jeddah, membuat Agus Salim mendapat kesempatan lebih banyak untuk memperdalam agama Islam. Pada periode ini, dia berguru pada ulama asal Indonesia yang menetap di Jeddah, Syekh Ahmad Khatib. Syekh Ahmad Khatih masih punya hubungan keluarga dengan Agus Salim. Ia adalah pamannya.
Setelah menghabiskan masa kerja di Jeddah, Agus Salim pulang kampung dengan bekal ilmu yang lebih lengkap. Ia sempat bekerja di Dinas Pekerjaan Umum sebelum akhirnya memutuskan hubungan dengan birokrasi Belanda. Ia mendirikan sekolah swasta di kampung halamannya di Koto Gadang.
Pada tahun 1915, Agus Salim muda mulai terjun ke dunia jurnalistik. Ia merintis karir sebagai Wakil Redaktur di Harian Neratja yang kemudian diangkat menjadi Ketua Redaktur Harian Neratja.
Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat Kabar Fadjar Asia. Juga sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor
Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Di tengah-tengah karirnya di dunia jurnalistik, Agus Salim menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak.
Gaya bahasa Agus Salim saat menulis di berbagai media, dikenal sangat terampil merangkai kata-kata untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah Belanda.
Seperti tulisannya pada 25 September 1917, di Harian Neratja yang mengkritik kebijakan Belanda yang mendiskriminasi masyarakat pribumi, sekaligus mengecam penjajahan itu sendiri.
Agus Salim menulis, “Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang.â€
Pada edisi 29 November 1927, Agus Salim menulis di Harian Fadjar Asia, mengritik tentang arogansi polisi dalam melakukan pemeriksaan.
“Sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan
landraad (pengadilan) yang mencabut pengakuan di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa.â€
Tak hanya aktif sebagai jurnalis, Agus Salim juga terjun dalam dunia politik demi menggelorakan gerakan kemerdekaan. Ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1915. Agus Salim menjadi salah satu pemimpin Serikat Islam. Orang kedua setelah Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Di luar itu, banyak peran yang dilakoni Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di antaranya yakni, Anggota Volksraad (1921-1924), Anggota Panitia Sembilan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mempersiapkan UUD 1945.
Koneksi dan pergaulannya yang luas, membuat Agus Salim dipercaya menjadi Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet Sjahrir III 1947. Ia pernah menjadi Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947 dan Menteri Luar Negeri di Kabinet Hatta 1948-1949.
Agus Salim dikenal sebagai diplomat ulung. Ia adalah menteri luar negeri pertama Indonesia dan peletak dasar-dasar diplomasi Indonesia pada awal kemerdekaan. Ia adalah sosok yang berperan penting dalam pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947. Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Hal itu tak lepas dari peran Agus Salim.
Pada periode awal kemerdekaan 1946-1950, Haji Agus Salim laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia. Tak heran, ia kerap kali digelari sebagai "Orang Tua Besar" (
The Grand Old Man).
Agus Salim pernah menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia pada kabinet Presidensial. Sejak tahun 1950 sampai akhir hayatnya, Agus Salim dipercaya sebagai Penasihat Menteri Luar Negeri. Ia juga kerap di undang menjadi dosen tamu di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Prancis dan Timur Tengah.
Pada tahun 1952, Agus Salim menjabat Ketua di Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Biar pun penanya tajam dan kritikannya pedas, namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953, Agus Salim menulis buku dengan judul “B
agaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan?†Buku tersebut kemudian judulnya diperbaiki menjadi “
Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.â€
Salah satu keteladanan utama yang dimiliki Agus Salim adalah prinsipnya untuk tetap hidup sederhana dan mengabdi tanpa pamrih.
Leiden is Liijden. Memimpin itu adalah jalan menderita.
Tokoh terkemuda asal Belanda, Prof Schermerhorn mengakui kecemerlangan intelektual Agus Salim. Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa. Ia mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam sedikitnya sembilan bahasa. Agus Salim hanya punya satu kelemahan, yaitu: selamanya hidup melarat.
Boleh jadi, Agus Salim tak ada tokoh bangsa yang semelarat dan sebahagia Agus Salim. Hingga akhir hayatnya, Agus Salim tidak punya rumah. Hidupnya pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.
Di Jakarta, Agus Salim pernah mengontrak di Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, Ironis memang, jika dibandingkan dengan berbagai jabatan mentereng yang pernah didudukinya.
Haji Agus Salim meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.
Kini, nama Haji Agus Salim diabadikan untuk stadion sepak bola di Kota Padang, Sumatera Barat. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan protokol di sejumlah kota di Indonesia.
BERITA TERKAIT: