Heiho awalnya adalah pekerja lapangan yang ditugaskan sebagai pekerja konstruksi militer jepang. Pada tahun 1944, karena posisi militer Jepang yang terdesak dalam perang Asia Timur Raya, Heiho pun dipersenjatai. Tentara Heiho dilibatkan dalam pertempuran di garis depan, bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Mereka tunduk pada hukum militer Jepang.
Sementara PETA, adalah korps militer murni yang sengaja dibangun Jepang untuk mempertahankan Indonesia apabila armada Sekutu menyerang. Tentara PETA tak pernah mengalami pengalaman tempur. Hal demikian terjadi karena memang tujuan pembentukan PETA bukan untuk invasi tetapi sebagai tentara teritorial dengan tujuan mempertahankan diri.
PETA berada di bawah komando langsung Panglima Tentara Jepang. Saat terbentuk, pasukan ini berjumlah 66 batalyon di Jawa, tiga batalyon di Bali, dan sebanyak 20.000 personel di Sumatera. Ada pun markas besarnya berada Bogor, Jawa Barat.
Militer Jepang membagi tingkatan kepangkatan dalam tentara PETA. Pangkat tertinggi adalah
Daidanco; pemimpin batalyon,
Cudanco; pemimpin kompi,
Shodanco; prajurit dari masyarakat yang pernah sekolah pada tingkat menengah pertama,
Budanco; anggota yang pernah mengenyam bangku pendidikan sekolah dasar dan tingkatan terendah
Giyuhei; kelompok anggota PETA yang belum bersekolah.
Di antara milisi-milisi yang disokong dan dilatih militer Jepang itu, personil anggota PETA, Gyugun, dan Heiho mendapatkan digaji. Beberapa kesatuan lain non-milisi yang digaji adalah polisi atau pembantu tentara yang tunduk di bawah militer Jepang.
Menurut catatan Amelia Yani dalam biografi ayahnya,
Ahmad Yani Tumbal Revolusi (2007), gaji seorang perwira PETA kira-kira Rp6 pada tahun 1944. Di masa itu, harga sekilo daging hanya 6 sen. Cukup lumayan. Sekitar 10 jutaan jika dibandingkan dengan nilai rupiah dan harga daging saat ini.
Banyak anggota PETA yang mendapatkan pelatihan militer justru merencanakan persiapan kemerdekaan. Hal ini sebagian timbul akibat rasa tidak suka atas kekejaman tentara Jepang terhadap rakyat pribumi. Praktik-praktik kekejaman Jepang seperti kerja rodi, romusha, di mana rakyat dikerahkan untuk bekerja tanpa dibayar, membakar semangat para tentara sukarela.
Itulah yang membuat banyak relawan PETA yang lebih memilih melayani kepentingan Indonesia dari pada keinginan tentara kekaisaran Jepang. Seperti pemberontakan batalyon PETA di Blitar, Jawa Timur pada 14 Februari 1945. Pemberontakan itu dipimpin Supriyadi, pemuda berusia 22 tahun. Ia berpangkat Shodancho.
Sejak pertengahan September 1944, Supriyadi telah menyiasati rapat-rapat rahasia untuk merencanakan perlawanan terhadap tentara Jepang. Dalam aksinya, Batalyon PETA Blitas itu berhasil membunuh sejumlah tentara Jepang dan melarikan diri dengan membawa banyak perlengkapan dan logistik Jepang termasuk senjata Arisaka dan senapan mesin Type 99.
Tapi perlawanan itu tidak berjalan mulus. Tentara Jepang yang mendapat bantuan warga sekitar yang tidak ikut melawan dan bala bantuan dari Malang berhasil menumpasnya.
Para pemberontak yang tertangkap kemudian diadili di Jakarta. Sebanyak 68 orang anggota PETA Blitar berhasil ditangkap. Delapan orang dihukum mati dan dua orang dibebaskan. Sementara sang pemimpin, Soeprijadi tidak diketahui keberadaannya.
Menghargai jasanya, Presiden Soekarno menunjuk Soeprijadi sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Hingga saat pelantikan, Soeprijadi tidak pernah muncul untuk menerima mandat.
Saat para menteri dilantik oleh Presiden Soekarno, tertulis "Menteri Pertahanan belum diangkat". Tak kunjung hadir, akhirnya Soekarno melantik Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menhan.
Meski demikian, pemerintah RI tetap mengakui jasa-jasa Soepriyadi pada masa kemerdekaan. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Kisah PETA berakhir, sehari setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Tapi para jebolannya terus mewarnai perjuangan bangsa. Mengutip buku
Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, karya Nino Oktorino, (2013), pembubaran PETA dilakukan berdasarkan perjanjian kapitulasi antara Jepang dengan blok Sekutu. Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka. Sebagian besar mematuhinya perintah itu.
Presiden Soekarno juga mendukung pembubaran PETA ketimbang opsi menjadikannya tentara nasional. Secara politik, langkah ini untuk mencegah munculnya tudingan dari blok Sekutu bahwa negara Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang.
Sehari setelah pembubaran PETA, pada 19 Agustus 1945, Panglima terakhir Tentara Ke-16 Jepang di Pulau Jawa, Letnan Jenderal Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945. Para combatan PETA dirangkul dan diajak ikut bergabung. Tentara PETA yang tersebar di sejumlah wilayah kembali dikumpulkan. Bukan hanya jebolan PETA, Pemerintah Indonesia juga memanggil bekas tentara Heiho, Kaigun, dan Kompeiho untuk bergabung dan bersama-sama menjaga kedaulatan Indonesia yang baru merdeka.
Seiring perjalanan, BKR berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Pada 26 Januari 1946, TKR berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Akhirnya, pada 3 Juni 1947, TRI berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).