Arief Rahman Hakim lahir di Padang, Sumatra Barat, 24 Februari 1943 dari pasangan perantau Minangkabau H Syair dan Hakiman. Arief Rahman Hakim tamat SMP tahun 1958. Kemudian Arief pindah ke Jakarta melanjutkan SMA hingga akhirnya melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
Arief tewas pada usia 23 tahun akibat ditembak senapan saat berlangsungnya demonstrasi mahasiswa pada 24 Februari 1966 di Lapangan Banteng, Jakarta. Aksi itu yang menuntut dilaksanakanya Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) oleh pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Soekarno .
Sejarawan sekaligus pelaku sejarah gerakan mahasiswa 1966, Rushdy Hoesein, mengisahkan aksi unjuk rasa yang dilakukan KAMI yang akhirnya menewaskan Arief Rahman Hakim.
“Saya ingat di Istana Negara kala itu tengah diadakan rapat Kabinet Dwikora yang langsung dipimpin oleh Presiden Sukarno,†kenang Rushdy.
Seorang pimpinan aksi demonstrasi Yozar Anwar juga menceritakan kisahnya saat berlangsung aksi demo lanjutan di Jalan Merdeka Utara pasca kematian Arief .
“Jam 9 pagi, mahasiswa mulai berbondong-bondong dengan membawa jaket kuning yang berlumuran darah,†tulis Yozar dalam bukunya berjudul
Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa.
Yozar, menyebutkan bahwa darah yang berlumuran pada jaket kuning almamater Universitas Indonesia (UI) itu adalah milik Arief Rahman Hakim, seorang demonstran KAMI dari Fakultas Kedokteran UI yang tewas sehari sebelumnya.
Arief Rahman Hakim tatkala itu tengah berdemonstrasi di sekitar Lapangan Banteng. Barisan demonstran didesak oleh aparat kemananan yang terdiri dari pasukan Resimen Pelopor (Menpor), Divisi Siliwangi (Batalyon 317 dan Batalyon 323) dan Resimen Tjakrabirawa sebagai lapis terakhir penjagaan Istana Negara.
Yozar menceritakan, saat massa demonstran memasuki “ring satu†siang itu, aparat keamanan mulai membuat pagar yang sangat rapat. Tentara dengan memakai senjata bersangkur, berusaha menghalau para mahasiswa keluar dari kawasan Istana Negara.
“Namun barisan tetap berdesak-desakan, teriakan tetap bergemuruh di angkasa,†kata Yozar.
Di tengah kepanikan dan situasi panas tersebut, dari lapis terakhir tetiba terdengar rentetan suara tembakan. Diduga berasal dari senapan otomatis buatan Uni Sovyet, AK). Mahasiswa yang tidak menduga ditembaki, langsung tiarap. Demikian pula para prajurit dari Menpor dan Divisi Siliwangi yang posisi paling depan, berhadapan dengan para demonstran.
Setelah suara tembakan berhenti. Para mahasiswa yang tadinya tiarap, spontan bangkit. Mereka berlarian menuju Arief Rahman Hakim yang tergeletak bersimbah darah.
Ditengah situasi kacau itu, Pasukan Menpor memerintahkan para mahasiswa untuk mundur. Namun perintah tidak direspon mahasiswa. Akibatnya, aparat keamanan langsung merangsek.
Massa mahasiswa pun terpaksa mundur sambil membopong Arief Rahman Hakim, Mereka berteriak-teriak marah: “Tjakrabirawa anjing!â€, “Tjakrabirawa pembunuh!â€, “Tjakrabirawa menembak rakyat dengan peluru yang dibeli rakyat!â€
Arief Nyawa Arief akhirnya tak tertolong. Sehari kemudian, ia mengembuskan nafas terakhirnya pada jam 12.45.
Sejak itulah, Arief menjadi simbol perlawanan mahasiswa terhadap rezim Sukarno. Jaketnya yang berlumuran darah, nyaris tiap hari diarak dalam setiap aksi demonstrasi: menjadikan situasi semakin panas dan suasana kebencian terhadap pemerintah makin menggumpal.
Masih segar dalam kenangan Rushdy orang-orang mengutuk Resimen Tjakrabirawa sebagai pembunuh mahasiswa. Mereka menyebut, Tjakrabirawa harus bertanggungjawab terhadap aksi brutal mereka.
Padahal menurut Yozar Anwar, saat bergerak ke arah Istana, mahasiswa ada dalam kondisi tertib dan tidak berniat membuat aksi-aksi anarki.
Namun pendapat prajurit Tjakrabirawa justru berkata lain. Letnan Satu CH Sriyono masih ingat bagaimana situasi saat itu sangat kacau. Ketika massa berkerumun di sekitar Lapangan Banteng dan Merdeka Utara, Sriyono mengaku memang mendengar rentetan tembakan yang menyalak secara mendadak namun dia membantah tembakan itu berasal dari kesatuannya.
“Tidak ada sama sekali perintah untuk menembak para demonstran. Kami ini pasukan yang terdidik untuk berlaku disiplin: jika diperintahkan tembak ya tembak tapi kalau diperintahkan diam saja ya diam,†ujar Sriyono dikutip dari
Historia.
Keterangan Sriyono diperkuat oleh Maulwi Saelan dalam otobiografinya,
Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66. Menurut Maulwi, pasca insiden penembakan, Kapten Hidrosin (anggota DKP yang pasukannya tengah bertugas) langsung mengumpulkan anak buahnya. Salah seorang komandan kompi Tjakra itu langsung memeriksa satu persatu senjata para prajuritnya secara teliti dan ternyata semua laras senjata bersih.
Kemudian Maulwi menceritakan, setahun setelah kejadian-ketika dia sudah dipindahkan dari Resimen Tjakrabirawa ke PUSPOM ABRI, Maulwi justru mendapat cerita dari beberapa anggota POM DAM V (Polisi Militer Daerah Militer V Jakarta) bahwa yang menembak Arief adalah tentara yang ada di Lapangan Banteng dan bukan di seberang Markas DKP. Penembak itu adalah seorang prajurit dari POM DAM V yang saat itu sedang ditugaskan di kesatuan Garnizun Ibukota Jakarta.
“Saya sendiri sudah meminta kepada Brigjen TNI dr Rubiono, perwira sandi yang selalu bersama saya, agar segera mengusahakan
visum et repertum jenazah Arief Rahman Hakim untuk dilaporkan kepada Presiden Sukarno,†ungkap Maulwi yang saat itu berpangkat kolonel.
Namun hingga Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, tidak ada
visum et repertum. Jadilah pendapat yang menyatakan bahwa pembunuh Arief Rahman Hakim adalah anggota Resimen Tjakrabirawa terus diyakini sebagian besar khalayak hingga kini.
“Terlebih setelah Jenderal AH Nasution memuji-muji Arief sebagai Pahlawan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), anggapan itu seolah tak terbantahkan,†kata Maulwi yang dikenal sebagai salah satu orang dekat Presiden Soekarno.
Untuk mengenang perjuangan Arief Rahman Hakim, kini namanya diabadikan menjadi nama ruas jalan di beberapa kota di Indonesia. Sedangkan di Universitas Indonesia, namanya diabadikan menjadi nama masjid di Kampus Salemba dan nama salah satu stasiun radio swasta di Jakarta.
Lahirnya SupersemarSetelah insiden berdarah yang merenggut nyawa Arief Rahman Hakim, Presiden Soekarno mengadakan sidang lengkap Komando Operasi Ganyang Malaysia (KOGAM) untuk membahas tindakan-tindakan yang dilakukan mahasiswa.
Keesokan harinya, 25 Februari 1966, Panglima KOGAM Laksamana Muda Udara Sri Mujono Herlambang mengumumkan Keputusan Kogam tentang pembubaran KAMI.
Sidang tersebut memutuskan untuk pembubaran KAMI per tanggal 26 Februari 1966. Selain itu, di Jakarta juga diberlakukan jam malam berlaku sejak 21.00 WIB hingga 06.00 WIB, dan larangan berkumpul lebih dari lima orang.
Jusuf Wanandi, tokoh KAMI dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dalam bukunya berjudul,
Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, mengisahkan, setelah KAMI dibubarkan, Pasukan Tjakrabirawa mencoba menangkap pentolan demonstran.
Adiknya, Sofyan Wanandi bersembunyi di Markas Komando Tempur II Kostrad pimpinan Letkol Ali Moertopo yang terletak di Jalan Kebon Sirih. KAMI juga sekalian memindahkan markasnya ke sana.
Saat itu, pihak yang paling melindungi mahasiswa adalah Brigjen Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Kemal memimpin semua pasukan Kostrad yang ada di Jakarta. Dengan wewenang komando yang ada padanya, Kemal kerap membantu dan mengamankan gerakan mahasiswa.
“Beberapa anggota saya, saya tempatkan di Markas KAMI. Strategi yang saya lakukan itu sangat menunjang jalannya gerakan mahasiswa dan pengamanan yang dikehendaki pada masa itu,†kisah Kemal Idris dalam otobiografinya
Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi.
Usaha Kemal Idris melindungi demonstran ini direstui oleh Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Terutama supaya jangan jatuh korban di pihak mahasiswa.
Pada 7 Maret 1966, Presiden Soekarno tidak puas dengan pembubaran KAMI. Selanjutnya Soekarno memberikan perintah harian yang berisi di antaranya, bahwa seluruh rakyat Indonesia harus patuh kepadanya, karena dia adalah Kepala Negara. Soal masalah G 30 S PKI akan diselesaikan setelah keadaan menjadi tenang.
Disarikan dari buku berjudul;
Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema, Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, yang ditulis Rum Aly (
Kata Hasta Pustaka, 2006), pembubaran KAMI langsung mendapat penolakan dari mahasiswa Bandung.
Tidak lama setelah keputusan tersebut dikeluarkan, tepatnya pukul 00.00 WIB pada 25 Februari, mahasiswa Bandung telah mengeluarkan pernyataan penolakan. Penolakan ini memberikan dampak moril bagi para mahasiswa di berbagai kota untuk juga ikut menolak keputusan pembubaran KAMI tersebut.
Kemudian tengah malam menjelang 25 Februari 1966 itu, mahasiswa-mahasiswa Bandung yang menilai bahwa rekan-rekannya di Jakarta sedang mengalami tekanan berat dari penguasa memutuskan mengirimkan tenaga bantuan ke Jakarta. Jumlahnya ratusan namun dikirim bergelombang dan dilakukan secara diam-diam.
Mahasiswa Bandung, telah berpengalaman ketika
long march mereka ke Jakarta pada 17 Januari 1966 sebagai suatu gerakan terbuka dihambat oleh aparat keamanan. Rombongan pertama mahasiswa Bandung (Kontingen Bandung) berangkat ke Jakarta terdiri dari 40 orang dengan menggunakan 2 bus umum.
Selama perjalanan, 40 mahasiswa yang seluruhnya dari mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok Bangbayang, dipimpin Riswanto Ramelan, mahasiswa Seni Rupa ITB, berpura-pura untuk tidak saling kenal. Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa Elektro ITB Bernard Mangunsong, menggunakan kereta api pukul 06.00 pagi dan turun di Stasiun Jakarta Kota.
Sedang rombongan ketiga yang juga menggunakan kereta api pukul 10.00 pagi, turun di Kramat Sentiong. Rombongan berkereta api ini pada umumnya anggota Batalion I Resimen Mahawarman.
Sedangkan rombongan terbesar dan terakhir, yang terdiri dari kurang lebih 150 mahasiswa menggunakan kereta api pukul 15.00, dipimpin oleh Arifin Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak Bandung-Jakarta Kota dalam waktu 4,5 jam.
Selain mahasiswa yang datang berombongan ini, terdapat pula sejumlah mahasiswa yang datang dengan berbagai cara secara berangsur-angsur selama beberapa hari. Ditambah yang sudah berada di Jakarta sejak beberapa hari sebelumnya. Termasuk mahasiswa-mahasiswa penggerak seperti Zaenal Arifin dan kawan-kawan dari kelompok Bangbayang. Sehingga secara keseluruhan kontingen ini berkekuatan 400-an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung, namun terbanyak dari ITB.
Jumlah ini sebenarnya tidak terlalu besar di tengah ribuan massa mahasiswa Jakarta, namun militansi dan keunikan Kontingen Bandung ini membuatnya berperan.
Pada malam kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus. Artinya tak ada mahasiswa yang boleh menginap dengan alasan ada kemungkinan serangan dari pasukan-pasukan yang pro Soekarno.
Hanya satu malam Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba, karena keesokan harinya berangsur-angsur mereka kembali ke sana. “Kontingen Mahasiswa Bandung akan terus bertahan di Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan atau Soekarno dilumpuhkan,†ungkap aktivis mahasiswa, Muslimin Nasution, yang juga seorang pimpinan kontingen, bersama dengan Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat.
Kedatangan Kontingen Bandung itu sendiri, justru pada saat mahasiswa Jakarta sedang ditekan, mempunyai arti tersendiri untuk menaikkan spirit rekan-rekannya mahasiswa Jakarta.
Anggota-anggota Kontingen ini juga berinisiatif melakukan gerakan-gerakan mengejutkan ke sasaran-sasaran strategis. Meskipun bisa saja dianggap keterlaluan, mahasiswa-mahasiswa seni rupa ITB Riswanto Ramelan, T Soetanto dan kawan-kawan yang ada di Kontingen itu menciptakan kreasi-kreasi seperti patung besar Soebandrio dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna Peking.
Patung tersebut ikut dibawa ketika Kontingen Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta dan pelajar KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak-abrik ruang kerja Soebandrio di Departemen Luar Negeri.
Patung ini lalu dicari-cari untuk disita oleh aparat Kodam Jaya, dan akhirnya ‘terpaksa’ dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan pelajar setelah diarak, dalam suatu acara simbolik di kampus Salemba.
Selain menyerbu Departemen Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa juga melakukan penyerbuan ke Kantor Berita RRT Hsin Hua, namun gagal.
Tanggal 10 Maret 1966, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana. Lalu parpol-parpol mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda.
Aksi Tritura mencapai puncaknya pada 11 Maret 1966. Presiden Soekarno diagendakan melakukan sidang pelantikan Kabinet “Dwikora yang Disempurnakan†atau juga dikenal sebagai “Kabinet 100 menteriâ€, merujuk kepada jumlah menteri yang hadir saat itu.
Pada 11 Maret berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak pagi-pagi, mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi pengempesan ban mobil termasuk mobil menteri. Demonstrasi besar-besaran ini menjadi titik kejut bagi Soekarno yang segera meninggalkan Sidang menuju Istana Bogor.
Soekarno mendapat laporan dari Panglima Tjakrabirawa, Jenderal Sabur, bahwa ada ‘pasukan liar’ dan pasukan ‘tak dikenal’ yang diisukan akan mengepung istana.
Soekarno lalu bergegas menuju Istana Bogor menggunakan helikopter bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. Sementara sidang pelantikan kabinet dilanjutkan oleh Wakil Perdana Menteri II Dr J Leimena.
Dalam majalah
TSM No. 21 Tahun II/Maret 1989, Kemal Idris membenarkan bahwa pasukan-pasukan liar itu di bawah komando dan pengendaliannya. Kemal mengirimkan sekira sepeleton pasukan RPKAD ke sekeliling istana. Operasi itu ditujukan untuk meringkus Soebandrio.
Sehingga Soekarno tiba pada suatu posisi psikologis dan mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno dengan tergesa-gesa meninggalkan istana menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.
Tentang peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, Dr Soebandrio menulis di bukunya berjudul:
Kesaksianku tentang G30S. Dia menceritakan, setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Saboer, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal.
“Beberapa saat kemudian presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar,†kisah Soebandrio.
“Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu, mungkin karena kegerahan duduk lama menunggu, tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu,†cerita Soebandrio.
Lebih jauh, Soebandrio menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang, dia merasa bingung, akan ke mana.
“Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil semua menteri, sudah digembosi oleh para demonstran."
Dalam kondisi hiruk pikuk di sekitar istana Soebandrio keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang mengenal dirinya yang sedang diincar tentara. Padahal ia naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno.
"Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuanâ€.
Soebandrio mengaku sepedanya meluncur terus ke selatan sampai bundaran Bank Indonesia. Tetapi dia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa sampai jalan Thamrin. Dia ragu apakah bisa lolos. Sehingga dia kembali mengayuh sepeda kembali ke istana dan dia bisa sampai di istana tanpa diketahui para demonstran.
“Begitu tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak tahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah, ketika berlari menuju heli tanpa sepatu, saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor,†urai Soebandrio.
Apapun yang terjadi dengan Soebandrio dan Soekarno pada siang hari 11 Maret itu, malamnya lahir Surat Perintah 11 Maret, yang dibuat ‘bersama’ tiga jenderal yang sebenarnya dekat dengan Soeharto, yakni Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen Muhamad Jusuf dan Brigjen Amirmahmud.
Atas dasar Surat Perintah itu, Soeharto kemudian membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. Beberapa hari kemudian, 18 Maret, Soeharto melakukan tindakan untuk ‘mengamankan’ 15 Menteri Kabinet Dwikora.
Dengan Surat Perintah Sebelas Maret, Soeharto mulai memasuki fase kekuasaan sepenuhnya. Kekuasaan Presiden Soekarno semakin tergerus dan perlahan-lahan tidak dipercaya masyarakat.
Massa KAMI dan KAPPI tetap melakukan demonstrasi lanjutan pada 1-3 Oktober 1966. Aksi semakin besar pada 30 November 1966, 9-12 Desember 1966 tercatat 200.000 mahasiswa mendesak agar Presiden Soekarno diadili.
Dengan desakan dari para mahasiswa dan juga TNI, akhirnya Presiden Soekarno memberikan kekuasaannya kepada Soeharto pada 20 Februari 1967. Pada 7 Maret 1967, Soeharto resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.