Pada 24 Desember 1965, aktivis mahasiswa Bandung dan jurnalis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Alex Rumondor bertemu Bonar Siagian, aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos). Alex mengemukakan ide untuk mengorganisir suatu pertemuan antara para aktivis mahasiswa Bandung.
Situasi politik dan ekonomi yang tak menentu pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara Soekarno masih belum merespon tiga tuntutan rakyat. Sudah saatnya mahasiswa untuk mengambil tindakan-tindakan menghadapi perkembangan situasi.
Ajakan serupa disampaikan Alex kepada aktivis mahasiswa Adi Sasono. Untuk itu, Alex menyiapkan suatu draft Petisi Amanat Rakyat, yang isinya menggugat langsung Soekarno, sikap politik maupun kebijakan ekonominya.
Ketiga pencetus awal, Alex Rumondor, Bonar Siagian
dan Adi Sasono kemudian bergerak mengajak para aktivis, Pertemuan direncanakan segera setelah perayaan akhir tahun. Namun baru bisa berlangsung pada 8 Januari 1966.
Di antara yang hadir tercatat nama-nama seperti Rahman Tolleng dan Muslimin Nasution, dua orang yang dulu terkait Peristiwa 10 Mei 1963, serta Rachmat Witoelar yang saat itu menjadi Ketua Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra Universiter Indonesia (KOMII).
Hadir pula sejumlah aktivis yang berlatar belakang HMI seperti Bagir Manan dan Iwan Sjarif. Nama-nama lain adalah, Soegeng Sarjadi yang belakangan diajak bergabung sebagai anggota HMI, Erna Walinono, Fred Hehuwat, Rohali Sani, Jakob Tobing, Robby Sutrisno, Rudianto Ramelan, Aswar Aly, Hasjroel Moechtar dan Mangaradja Odjak Edward Siagian yang juga adalah seorang perwira cadangan jalur wajib militer.
Para aktivis mahasiswa yang berkumpul ini memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari organisasi-organisasi mahasiswa lokal yang menjadi cikal bakal Somal, Pelmasi, Mahasiswa Pantjasila sampai yang berhaluan independen.
Tetapi yang terbanyak sebenarnya adalah mahasiswa-mahasiswa tanpa latar belakang pemikiran politis samasekali seperti misalnya Erna Walinono –belakangan dikenal sebagai Erna Witoelar– mahasiswi yang terselip di antara aktivis yang umumnya mahasiswa putra.
Pada masa berikutnya, gerakan-gerakan mahasiswa di Bandung diikuti oleh mayoritas mahasiswa seperti Erna sehingga gerakan-gerakan itu lebih menonjol sebagai gerakan moral dan gerakan masyarakat.
Motivasi yang menggerakkan mahasiswa Bandung adalah pertama sikap yang dari semula tidak menyenangi PKI sebagai partai yang berpenampilan otoriter dan provokatif, serta realitas ekonomi rakyat yang makin memburuk di bawah rezim Soekarno.
Pertemuan pertama berlangsung di salah satu ruangan Berita-berita ITB di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Berita-berita ITB adalah sebuah buletin harian yang diterbitkan para mahasiswa di kampus Ganesha.
Tak semudah perkiraan. Pertemuan yang tadinya diprediksi bisa cepat mengambil keputusan baik mengenai petisi yang akan dicetuskan maupun aksi-aksi yang akan segera dilakukan, ternyata berlangsung alot dan berlarut-larut.
Perdebatan yang paling menyita waktu diantara mereka adalah mengenai Presiden Soekarno. Beberapa rumusan mengenai Soekarno tak dapat diterima oleh sejumlah mahasiswa yang hadir dengan berbagai argumentasi. Ada yang menghendaki agar kritikan yang akan dilontarkan kepada Soekarno lebih diperlunak.
Hasjroel mengutip pemaparan Alex bahwa meskipun dalam soal anti komunis semua yang hadir sepakat bersatu, tetapi rasa ketimuran yang negatif seperti bapakisme, rasa takut kepada yang berkuasa, takut ditangkap dan rasa tidak aman telah berpadu menjadi penyebab berlarut-larutnya diskusi.
Tapi akhirnya dengan sejumlah perubahan, petisi ditandatangani juga oleh 28 mahasiswa. Tetapi karena sudah terlalu sore pada 8 Januari 1966 itu dan waktu berbuka puasa sudah tiba, diputuskan pertemuan akan dilanjutkan keesokan malamnya, 9 Januari 1966 di kediaman Alex Rumondor di Jalan Merak 4 Bandung.
Pertemuan berikut itu untuk persiapan rencana aksi dan finalisasi Petisi Amanat Rakyat. Untuk persiapan awal sudah dilakukan pembagian tugas.
Malam itu, beberapa mahasiswa melanjutkan pertemuan untuk persiapan rencana demonstrasi. Mereka adalah sejumlah mahasiswa ITB, yakni Rudianto Ramelan, Thojib Iskandar, Fred Hehuwat, Pande Lubis dan Zainal Arifin (Iping), bersama sejumlah mahasiswa dari suatu kelompok yang dikenal sebagai Group Bangbayang.
Pertemuan-pertemuan lanjutan ternyata tetap saja tidak mudah. Malah masih berkepanjangan sampai dengan 12 Januari. Sementara itu, mahasiswa Jakarta sudah berhasil bergerak pada tanggal 10 Januari 1966 dan mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Mahasiswa Jakarta berhasil lebih ‘menyederhanakan’ persoalan dengan tidak menyentuh lebih dulu mengenai Soekarno dan membatasi diri terutama pada masalah kenaikan harga, dan mencukupkan diri dengan sedikit muatan tambahan bersifat politis. Yakni, pembubaran PKI dan rituling kabinet, seperti yang dituturkan Marsillam Simanjuntak.
Untuk beberapa lama, isu Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan strategi gerakan antara mahasiswa Bandung dengan Jakarta. Perbedaan ini berlangsung cukup lama. Dalam demonstrasi-demonstrasinya, mahasiswa Jakarta masih kerap meneriakkan
yell-yell “Hidup Bung Karnoâ€, “Kami tetap mendukung Bung Karno†seraya meneriakkan hujatan-hujatan terhadap tokoh lainnya, seperti Soebandrio.
Sementara itu, dalam gerakan-gerakan mahasiswa Bandung, sikap anti Soekarno sudah tampil sejak dini dalam kadar yang amat tinggi.
“Pada tanggal 12 Januari 1966 itu, kami berkesimpulan, jika debat-debat terlalu lama, tindakan aksi harus dijalankan saja,†tukas Alex Rumondor.
Alex mengusahakan agar
pressure group berkumpul lagi di Jalan Merak 4 untuk membahas rencana gerakan secara lebih rinci. Meskipun pada malam itu masih terjadi debat yang seru, tetapi akhirnya konsep dapat diterima.
Ada pun yang hadir saat itu adalah Rahman Tolleng, Bonar Siagian, Rudianto Ramelan, Fred Hehuwat, Zainal Arifin, Thojib Iskandar, Robert Sutrisno, Awan Karmawan Burhan dan beberapa orang lainnya lagi. Termasuk Alex Rumondor sendiri.
Alex lalu mengusulkan agar KAMI dan KOMII dikerahkan. Untuk itu harus dicari orang-orangnya. Akhirnya Ketua KOMII Rachmat Witoelar datang menjelang pukul 23.00. Daim A Rahim, Ketua KAMI Bandung, tak berhasil ditemukan, tetapi sebagai gantinya, Robby Sutrisno berhasil membawa datang Sekretaris KAMI Mohammad Ta’lam Tachja. Bersamaan dengan itu, Adi Sasono juga datang.
KOMII dan KAMI setuju bergerak bersama-sama. Pengerahan mahasiswa dari kampus Universitas Parahyangan dijamin oleh aktivis KAMI Awan Karmawan Burhan. Sedangkan pengerahan mahasiswa Universitas Padjadjaran diserahkan kepada Iwan Sjarif, yang untuk itu merasa perlu untuk meminta izin rektor lebih dulu. Beruntung, Rektor Unpar Sanusi Hardjadinata tidak berkeberatan. Pengerahan di ITB sudah terlebih dahulu disiapkan oleh Group Bangbayang.
Sejak pagi-pagi sekali 10 Januari 1966 mahasiswa Jakarta berkumpul di kampus Universitas Indonesia Salemba mengadakan appel. Massa mahasiswa selain dari Universitas Indonesia, berasal dari berbagai perguruan tinggi lainnya di Jakarta.
Setelah itu mereka bergerak menuju Sekretariat Negara Jalan Veteran untuk menyampaikan resolusi mereka. Tetapi di Sekretariat Negara para mahasiswa hanya ditemui oleh Wakil Sekertaris Negara, sehingga mahasiswa tak mau menyerahkan resolusi mereka dan tak bersedia membubarkan diri.
Bersamaan dengan itu, kelompok-kelompok mahasiswa lainnya berkeliling ke beberapa penjuru kota Jakarta untuk menyampaikan penjelasan-penjelasan kepada masyarakat mengenai tiga tuntutan mereka.
Ketua Presidium KAMI Pusat Cosmas Batubara dalam otobiografi yang berjudul
Cosmas Batubara, Sebuah Otobiografi Politik (2007), menceritakan, karena Waperdam III Chairul Saleh belum kembali, mahasiswa pun menunggu sambil duduk di jalan raya dan di halaman Sekretariat Negara. “Sembahyang pun termasuk dilakukan di jalan raya itu sehingga lalu lintas macet total,†tutur Cosmas.
Akhirnya pada sore hari sekitar 16.00 WIB, Waperdam III Chairul Saleh datang juga dan bersedia menerima para aktivis KAMI. Di depan Chairul Saleh, Cosmas membacakan Tritura sebelum disampaikan secara tertulis.
Chairul Saleh menerima pernyataan itu dan menanggapi bahwa segalanya tergantung pada kemauan Presiden Soekarno. “Kabinet bisa diubah, harga-harga bisa diturunkan, asal Presiden Soekarno memerintahkannya, maka semuanya akan dilaksanakan,†kata Chairul Saleh.
Demonstrasi di Sekretariat Negara berakhir sekitar 17.00. Dalam perjalanan pulang mahasiswa meneriakkan yel-yel mengumandangkan tiga tuntutan mereka.
Demonstrasi hari pertama berjalan lancar. Keesokan harinya, demo tanggal 11 Januari 1966, diikuti dengan aksi mogok kuliah oleh mahasiswa Jakarta.
Aksi mahasiswa Jakarta ini disusul oleh demonstrasi massa besar terdiri dari ribuan mahasiswa Bandung, 13 Januari 1966, melibatkan KOMII dan KAMI dalam satu gerakan bersama, hasil rancangan Alex Rumondor dan kawan-kawan.
Para mahasiswa Bandung ini mencetuskan “Resolusi Amanat Penderitaan Rakyatâ€. Mereka menyatakan solidaritas mahasiswa Bandung terhadap aksi-aksi yang dilancarkan mahasiswa Jakarta dan memperkuat tuntutan-tuntutan 10 Januari 1966 itu.
Bersamaan dengan resolusi tersebut, dicetuskan pula “Petisi Amanat Penderitaan Rakyat†(Ampera) yang disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat Mashudi untuk diteruskan kepada Presiden Soekarno.
Sejak 10 Januari dan 13 Januari itu, aksi-aksi mahasiswa lalu marak dan berlangsung terus menerus di kedua kota itu. Kemudian disusul oleh mahasiswa di kota-kota besar lainnya.
“Sejak 10 Januari 1966, puluhan ribu mahasiswa berdemonstrasi di jalanan selama lima hari berturut-turut,†kenang Jusuf Wanandi tokoh KAMI dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dalam bukunya berjudul,
Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998.
Puncak demonstrasi terjadi pada 15 Januari 1966. Ketika itu Soekarno mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor untuk menanggapi demonstrasi mahasiswa dan tuntutannya.
Saat itu Panglima Kodam Jaya Amirmahmud mengeluarkan pengumuman yang melarang penyelenggaraan demonstrasi dalam bentuk apapun di Jakarta. Alasannya demi menjaga dan terpeliharanya suasana tenang dan tertib dalam rangka pengamanan guna tercapai tujuan revolusi. Kemudian Menteri PTIP Sjarif Thajeb melengkapkan tekanan dengan larangan terhadap mogok kuliah yang dijalankan mahasiswa.
Meskipun ada larangan demonstrasi, namun mahasiswa Jakarta tetap saja melakukan gerakan-gerakan. Mereka mengganti istilah demonstrasi dengan “berkunjung ramai-ramaiâ€.
Salah satu sasaran kunjungan ramai-ramai itu adalah Departemen Luar Negeri yang dipimpin Soebandrio, pada Selasa 18 Januari 1966. Gagal bertemu Soebandrio di sana para mahasiswa menuju kediaman resmi Menlu di Jalan Merdeka Selatan, dan bisa bertemu Soebandrio.
Mulanya Soebandrio hanya mau menemui delegasi mahasiswa, dan menjelaskan tentang ucapan-ucapannya sebelumnya yang menuduh mahasiswa ditunggangi Nekolim dan menyatakan aksi-aksi mahasiswa tidak sopan.
Ketika diminta untuk berbicara langsung di depan massa mahasiswa, dia malah menantang dan mengatakan,“Saya juga punya massa!â€.
Spontan delegasi mahasiswa balik bertanya “Apakah bapak bermaksud mengadu domba antara massa bapak dengan massa kami?â€.
â€Bukan… bukan itu maksud saya,†jawab Soebandrio sambil melanjutkan pembicaraan, â€Baiklah, saya akan bicara…..â€.
Begitu muncul di depan massa mahasiswa, Soebandrio disambut teriakan
“Ganyang Haji Peking!â€
“Kami tidak memusuhi Bung Karno.â€
“Kami memusuhi Durno.â€
Jadi, seperti tentara yang taktis terhadap Soekarno, hingga sebegitu jauh, mahasiswa pun masih bersikap taktis pula terhadap Soekarno.
Akhirnya pada hari itu pula, delegasi KAMI bertemu dengan Soekarno. Ini adalah pertemuan yang kedua kalinya. Delegasi KAMI terdiri antara lain dari Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Mar’ie Muhammad, Elyas, Lim Bian Koen, Firdaus Wajdi, Abdul Gafur dan Djoni Sunarja.
Tentang pertemuan ini, David Napitupulu pernah mengisahkan betapa Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan perut dengan santun.
Delegasi KAMI menyampaikan tiga tuntutan rakyat. Soekarno menjawab,“Saya mengerti sepenuhnya segala isi hati dan tuntutan para mahasiswa dan tidak menyangsikan maksud-maksud baik mahasiswaâ€.
Namun dengan keras Soekarno menyatakan tidak setuju cara-cara mahasiswa yang menjurus ke arah vandalisme materil dan vandalisme mental, yang menurut sang Presiden bisa ditunggangi golongan tertentu dan Nekolim, yang tidak menghendaki persatuan Bung Karno dan mahasiswa.
Khusus tuntutan pembubaran PKI, kembali Soekarno tidak memberikan jawaban memenuhi tuntutan pembubaran. Soekarno hanya menyuruh mahasiswa menunggu keputusan politik yang akan diambilnya.
Hari-hari selanjutnya, Presiden Soekarno tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala.
Membubarkan PKI, apalagi mengganyang orang-orangnya, memang tidak mudah bagi Soekarno yang dikenal dekat dengan para petingginya. Situasi kali ini sungguh berbeda dengan peristiwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Kala itu, Soekarno bisa dengan tegas mengatakan: “Pilih Musso atau pilih Bung Karno dan Bung Hatta?!â€
Seperti ditulis Andreas A Yewangoe dalam
Dr Johannes Leimena, Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani (2007), sulitnya Bung Karno mengambil keputusan setelah tragedi 1965 bukan saja karena kesalahan PKI yang belum bisa dibuktikan, melainkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagasnya akan menjadi cacat.
Pada 21 Februari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan akan me-reshuffle Kabinet Dwikora. Keputusan reshuffle kabinet ini mengundang amarah bagi mahasiswa karena Soekarno masih menyertakan simpatisan-simpatisan PKI dalam kabinetnya. Soekarno malah menyingkirkan Jenderal AH Nasution yang gigih menentang G 30 S PKI, dari jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Hankam).
Mahasiswa sangat kecewa dengan Soekarno. Mahasiswa kembali turun ke jalan pada 24 Februari 1966 dan memacetkan lalu lintas. Mobil-mobil dikempeskan bannya di jalan-jalan sehingga menteri-menteri yang akan dilantik terhambat menuju istana. Barisan demonstran berhasil menembus penjagaan tentara hingga depan pintu istana.
Mereka bahkan berhadapan langsung dengan Pasukan Tjakrabirawa (Pasukan Khusus Pengawal Presiden). Bentrokan antara dua kubu pun tak terelakan. Akibat bentrokan tersebut gugur satu mahasiwa bernama Arief Rahman Hakim yang merupakan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Arif tewas diduga akibat ditembak oleh pasukan Tjakrabirawa.
Tewasnya Arif Rahman Hakim juga bersamaan dengan wafatnya anggota KAPPI, Siti Zubaedah yang berasal dari Bandung. Selain itu, dalam insiden sehari sebelumnya, jatuh pula 9 korban mahasiswa yang menderita luka dari peluru pasukan Tjakrabirawa.
Arif Rahman Hakim menjadi simbol perjuangan mahasiswa sejak saat itu. Jaket kuning bersimbah darah diarak oleh para mahasiswa berkeliling Jakarta. Mahasiwa membangkitkan semangat rakyat untuk menurunkan Presiden Soekarno.