Di dunia akademik Hussein Alatas pernah mengajar di Universitas Malaya, Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Kebangsaan Singapura.
Banyak karyanya baik dalam bentuk artikel ilmiah dan buku dibaca oleh akademisi di seluruh dunia. Diantara karyanya yang diterbitkan di Indonesia adalah bukunya berjudul : Sosiologi Korupsi dan Mitos Pribumi Malas. Dua buku ini diterbitkan oleh LP3ES di masa jayanya.
Berbagai gagasan Hussein Alatas diangkat dan dibedah kembali dalam sebuah seminar antar bangsa yang diadakan untuk mengenang 14 tahun kepergiannya.
Dalam seminar ini sejumlah cendekiawan dan politisi yang mengenal almarhum ditampilkan sebagai pembicara dan penanggap, diantaranya: Anwar Ibrahim dan Mohd Nor Manuty yang merupakan cendekiawan sekaligus politisi terkemuka di Malaysia.
Kemudian Syed Farid Alatas anak kandung Almarhum dan Muhammad Abu Bakar, dua cendekiawan Malaysia yang berkiprah di sejumlah perguruan tinggi di Malaysia dan manca negara.
Dari Indonesia ikut berbicara Amin Abdullah yang mengajar di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang juga aktif di Muhammadiyah.
Hussein Alatas hidup satu generasi dengan Edward Said, seorang cendekiawan Arab yang sangat terkenal karena karyanya: Orientalism.
Buku ini berisi kritik atas berbagai teori sosial yang dibangun Barat untuk tujuan mengeksploitasi Timur atau Dunia Islam melalui kolonialisasi.
Jika Edward Said mendasarkan kritiknya melalui pengamatannya yang cermat dan mendalam atas Dunia Islam di Timur Tengah, maka Hussein Alatas mendasarkan kritiknya atas pengamatannya di Dunia Islam di kawasan Asia Tenggara yang juga dikenal dengan Melayu.
Hussein Alatas menemukan fakta bahwa para pemimpin dan cendekiawan Melayu pasca kemerdekaan, masih terus menggunakan paradigma dan narasi yang dibangun oleh para penjajah, meskipun mereka telah merdeka.
Dari sinilah muncul gagasannya untuk membangun paradigma dan teori sosial yang disebutnya dengan istilah "
autonomous social science tradition" (tradisi sains sosial mandiri).
Menurut Mohamed Imran Mohamed Taib yang tampil sebagai penanggap, Hussein Alatas menghadapi perlawanan yang keras dari berbagai kelompok masyarakat yang mengakibatkannya terpinggirkan oleh politisi yang berorientasi pada kekuasaan.
Hussein Alatas kemudian tersingkir oleh akademisi yang Eurocentris dan membebek pada teori dan paradigma yang dibangun Barat, dan ditentang oleh para ulama tradisional yang jumud dan miskin wawasan.
Meskipun gagasan-gagasan Hussein Alatas masih relevan saat ini, mengingat Indonesia dan Malaysia sebagai negara dengan Mayoritas Muslim di kawasan Asia Tenggara, masih menghadapi persoalan besar terkait korupsi atau rasuah.
Korupsi di dua negara ini bukan hanya menghambat kemajuan bangsa dan negara, akan tetapi sudah membahayakan masa depannya, bila dikaitkan dengan kemajuan sejumlah tetangganya.
Selain berbagai tantangan yang bersumber dari luar yang ditemukan Hussein Alatas, kini Muslim di kawasan ini menghadapi serbuan paradigma dan pemikiran "
simple minded" yang datangnya dari Timur Tengah.
Interpretasi keagamaan yang sangat literalis menyebabkannya tidak toleran, dan mengabaikan sejarah serta ilmu sosial.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari fakta, meskipun ilmu sejarah dan ilmu sosial dipelopori oleh cendekiawan Muslim bernama Ibnu Khaldun yang hidup di abad ke 14, tetapi ilmu-ilmu ini tidak berkembang di dunia Islam khususnya di Timur Tengah.
Sementara di dunia Barat ia berkembang sangat subur.
Semoga kehadiran Hussein Alatas dapat menyadarkan dunia Islam, bukan saja yang berada di Asia Tenggara, juga yang berada di Timur Tengah.
Bagaimana mengawinkan atau mencari titik temu antara doktrin yang berada di dalam Al Qur'an dan Hadits dengan paradigma sosial yang diangkat dari realitas yang hidup di masyarakat Muslim.
Tentu tidak mudah, akan tetapi disinilah tantangannya.
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi